JAKARTA, KOMPAS — Biaya yang dibutuhkan pasangan calon pada Pilkada 2017 umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan pendapatan resmi mereka sebagai kepala daerah jika menang dalam pilkada. Tanpa pengawasan yang ketat, kondisi ini dapat menjadi awal dari korupsi di daerah.
Data Litbang Kementerian Dalam Negeri atas pendanaan pilkada serentak 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada tingkat kota/kabupaten bisa mencapai Rp 30 miliar.
Sementara uang yang dikeluarkan pasangan calon untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Biaya itu diperkirakan makin besar di Pilkada 2017. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada 2017 menyebutkan, pasangan calon kepala daerah diizinkan menambah bahan dan alat peraga kampanye dengan batasan yang sudah ditentukan, selain yang sudah ditanggung negara.
Pada regulasi terdahulu, UU No 8/2015 yang menjadi dasar hukum Pilkada 2015, bahan kampanye, alat peraga kampanye, iklan, dan debat publik yang diperbolehkan hanya yang didanai oleh negara lewat KPU daerah.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta, Senin (26/9/2016), menuturkan, perubahan regulasi itu terjadi karena ada pendapat bahwa pembatasan pengeluaran membuat masa kampanye sepi.
Namun, Ferry khawatir, perubahan peraturan itu memunculkan korupsi atau praktik lain yang mencederai tata kelola pemerintahan yang baik. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan pasangan calon saat pilkada jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan resmi mereka jika terpilih jadi kepala daerah.
Tak sebanding
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek, kemarin, menyebutkan, gaji pokok bupati/wali kota Rp 2,1 juta per bulan, sedangkan gubernur Rp 3 juta setiap bulan. Jika ditambah dengan tunjangan istri dan anak, gaji yang dibawa pulang Rp 5,6 juta-Rp 8,7 juta.
Kepala daerah memang memiliki hak atas belanja penunjang operasional dan insentif pemungutan. Dengan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta 2015 sebesar Rp 44 triliun, belanja penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur DKI bisa Rp 66 miliar per tahun.
Sebaliknya, untuk Sulawesi Barat yang PAD-nya Rp 220 miliar pada 2015, belanja penunjang operasional kepala daerah paling rendah Rp 750 juta atau paling tinggi 0,4 persen dari PAD atau sekitar Rp 880 juta.
Meski kepala daerah punya pendapatan lain selain gaji, biaya pilkada tetap dinilai amat besar.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Agustin Teras Narang mengatakan, untuk menutupi biaya di pilkada, partai turut menyumbang meski tidak terlalu signifikan. Pada pilkada sebelumnya, besar dana dari partai ini bisa lebih dari Rp 50 juta untuk satu daerah.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menuturkan, sebagian besar biaya pencalonan dan kampanye saat pilkada dibebankan kepada kandidat.
”Partai tidak bisa berkontribusi banyak secara finansial karena sejujurnya partai tidak punya uang,” ujarnya.
Dengan kondisi ini, seorang calon kepala daerah harus siap dan matang secara integritas, kapasitas, dan isi tas (kemampuan finansial).
”Ini prinsip umum di partai mana pun,” kata Arsul.
Benhur Tommy Mano mengaku mengeluarkan Rp 20 miliar saat bertarung dan menang dalam Pilkada Kota Jayapura, Papua, tahun 2011. Namun, untuk Pilkada 2017, sebagai petahana, dia menargetkan hanya mengeluarkan biaya Rp 5 miliar. Pasalnya, ia sudah punya basis massa di Kota Jayapura.
Sementara itu, Boy Markus Dawir, salah satu bakal calon Wali Kota Jayapura, mengaku menyiapkan Rp 10 miliar untuk ikut dalam pilkada mendatang.
Banyaknya dana yang harus dikeluarkan dibenarkan oleh pasangan Dodi Reza Alex-Beni Hernedi yang diusung 11 partai politik dalam Pilkada Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Saat ditanya besar dana yang dikeluarkan, Dodi Reza Alex menolak mengungkapkannya.
Bakal calon Wakil Bupati Musi Banyuasin dari jalur independen, Ahmad Toha, mengatakan sudah mengeluarkan uang sekitar Rp 300 juta untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat hingga tahapan pemeriksaan kesehatan. Uang itu dipakai untuk dana operasional bagi simpatisan yang membantu mencari dukungan di seluruh wilayah selama sembilan bulan terakhir.
Toha belum menghitung perkiraan dana yang dibutuhkan untuk tahapan selanjutnya.
Korupsi
Hasil Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi atas pendanaan Pilkada 2015 menunjukkan, sebanyak 51,4 persen responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito) mereka.
Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan tahu bahwa donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan donatur.
Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran di daerah.
Anggota Komisi II DPR, Amirul Tamim, yang pernah menjadi Bupati Baubau, Buton, pada 2003-2013, mengatakan, mahalnya biaya pilkada kerap berujung pada praktik korupsi. Kepala daerah berusaha mendapat ”balik modal” untuk membayar tuntas semua pengeluarannya selama pilkada dengan mencari segala macam upaya.
”Biaya politik terlalu tinggi, tetapi tak seimbang dengan pemasukan saat menjabat, ini masalah,” kata Amirul.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, calon kepala daerah yang mengeluarkan banyak uang pasti akan mengijonkan posisinya untuk ditukar dengan berbagai izin atau pengadaan barang.
Hal itu bisa terjadi sebelum calon itu terpilih sebagai kepala daerah. Petahana yang kembali maju juga bisa mengatur hal yang sama.
Menurut Dadang, dengan lemahnya pengawasan dan audit dana kampanye calon kepala daerah, harapan untuk memastikan penyimpangan hanya bisa terwujud jika masyarakat beramai-ramai mengawasi calon ataupun tim suksesnya.
Selain itu, harus pula dibangun suasana agar para pasangan calon juga saling mengawasi dan mau melaporkannya ke Badan Pengawas Pemilu. (GAL/AGE/APA/FLO/FRN/RAM/INA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 1 dengan judul "Biaya Pilkada Picu Korupsi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.