Dengan kondisi ini, seorang calon kepala daerah harus siap dan matang secara integritas, kapasitas, dan isi tas (kemampuan finansial).
”Ini prinsip umum di partai mana pun,” kata Arsul.
Benhur Tommy Mano mengaku mengeluarkan Rp 20 miliar saat bertarung dan menang dalam Pilkada Kota Jayapura, Papua, tahun 2011. Namun, untuk Pilkada 2017, sebagai petahana, dia menargetkan hanya mengeluarkan biaya Rp 5 miliar. Pasalnya, ia sudah punya basis massa di Kota Jayapura.
Sementara itu, Boy Markus Dawir, salah satu bakal calon Wali Kota Jayapura, mengaku menyiapkan Rp 10 miliar untuk ikut dalam pilkada mendatang.
Banyaknya dana yang harus dikeluarkan dibenarkan oleh pasangan Dodi Reza Alex-Beni Hernedi yang diusung 11 partai politik dalam Pilkada Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Saat ditanya besar dana yang dikeluarkan, Dodi Reza Alex menolak mengungkapkannya.
Bakal calon Wakil Bupati Musi Banyuasin dari jalur independen, Ahmad Toha, mengatakan sudah mengeluarkan uang sekitar Rp 300 juta untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat hingga tahapan pemeriksaan kesehatan. Uang itu dipakai untuk dana operasional bagi simpatisan yang membantu mencari dukungan di seluruh wilayah selama sembilan bulan terakhir.
Toha belum menghitung perkiraan dana yang dibutuhkan untuk tahapan selanjutnya.
Korupsi
Hasil Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi atas pendanaan Pilkada 2015 menunjukkan, sebanyak 51,4 persen responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito) mereka.
Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan tahu bahwa donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan donatur.
Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran di daerah.
Anggota Komisi II DPR, Amirul Tamim, yang pernah menjadi Bupati Baubau, Buton, pada 2003-2013, mengatakan, mahalnya biaya pilkada kerap berujung pada praktik korupsi. Kepala daerah berusaha mendapat ”balik modal” untuk membayar tuntas semua pengeluarannya selama pilkada dengan mencari segala macam upaya.
”Biaya politik terlalu tinggi, tetapi tak seimbang dengan pemasukan saat menjabat, ini masalah,” kata Amirul.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, calon kepala daerah yang mengeluarkan banyak uang pasti akan mengijonkan posisinya untuk ditukar dengan berbagai izin atau pengadaan barang.
Hal itu bisa terjadi sebelum calon itu terpilih sebagai kepala daerah. Petahana yang kembali maju juga bisa mengatur hal yang sama.
Menurut Dadang, dengan lemahnya pengawasan dan audit dana kampanye calon kepala daerah, harapan untuk memastikan penyimpangan hanya bisa terwujud jika masyarakat beramai-ramai mengawasi calon ataupun tim suksesnya.
Selain itu, harus pula dibangun suasana agar para pasangan calon juga saling mengawasi dan mau melaporkannya ke Badan Pengawas Pemilu. (GAL/AGE/APA/FLO/FRN/RAM/INA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 1 dengan judul "Biaya Pilkada Picu Korupsi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.