Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adakah Pelanggaran Berat HAM dalam Kasus 1965?

Kompas.com - 22/09/2016, 21:39 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengakui ada perbedaan pendapat antara Komnas HAM dengan tim ahli yang dibentuk Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan terkait penyelesaian kasus 1965.

Imdadun mengatakan, perbedaan pendapat tersebut terjadi saat Komnas HAM diundang untuk memberi masukan rekomendasi penyelesaian kasus 1965 sebelum diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

"Ada banyak yang berbeda, bukan hanya Komnas HAM saja yang beda. Bahkan Pak Agus Widjojo (Ketua Pengarah Simposium Nasional) saja banyak mendapat perbedaan mendasar. Kami sempat memberi masukan, tapi tak tahu apakah selanjutnya ada perubahan sebelum dibawa ke Presiden Jokowi," ujar Imdadun, saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (22/9/2016).

Tim ahli tersebut terdiri dari sejumlah akademisi bidang hukum dan ditunjuk oleh Luhut Binsar Pandjaitan saat menjabat Menko Polhukam.

Menurut Imdadun, tim ahli berpendapat tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus peristiwa 1965.

"Tapi memang dalam rapat itu, ada statement demikian. Setelah kemudian kami beri masukan, saya tak tahu apakah statement itu berubah atau tidak," kata Imdadun.

Selain itu, lanjut Imdadun, rekomendasi akhir yang diserahkan kepada Presiden Jokowi dirumuskan secara sepihak oleh tim ahli yang ditunjuk oleh Kemenko Polhukam.

Menurut dia, setelah Komnas HAM menyerahkan hasil simposium nasional soal peristiwa 1965, Komnas HAM tidak dilibatkan dalam merumuskan rekomendasi penyelesaian kasus tersebut.

Simposium Nasional merupakan prakarsa Menko Polhukam, Komnas HAM, Kapolri, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Panglima TNI, Menteri Hukum dan HAM, dan Jaksa Agung.

Sementara itu, dalam membuat rekomendasi penyelesaian, Tim Ahli Kemenko Polhukam juga menggabungkan hasil simposium tandingan yang diadakan skelompok purnawirawan militer dan sejumlah organisasi masyarakat pada awal Juni 2016.

Pelaksanaannya merupakan reaksi pihak militer yang menentang pelaksanaan simposium nasional sebelumnya.

"Tim ahli bentukan Pak Luhut, juga mengambil sumber dari simposium tandingan. Lalu bahannya diambil, digabungkan, dan dinilai dari kaca mata tim ahli (bentukan Luhut). Ini di luar kerja sama 7 lembaga tadi," kata Imdadun.

Meskipun perumusan hasil dua rekomendasi simposium 1965 dilakukan pada masa Luhut, Imdadun mengatakan, hasil rumusan tim ahli sampai kepada Presiden saat Menko Polhukam sudah dijabat Wiranto.

Wiranto sendiri belum berkomentar terkait substansi akhir rekomendasi tersebut.

Dia hanya membenarkan bahwa rekomendasi itu kini sudah ada di tangan Presiden.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Nasional
PDI-P Sebut Jokowi dan Gibran Tak Lagi Kader, Zulhas: Sudah Ada Rumahnya, PAN ...

PDI-P Sebut Jokowi dan Gibran Tak Lagi Kader, Zulhas: Sudah Ada Rumahnya, PAN ...

Nasional
Saksi Sebut Pemenang Lelang Proyek Tol MBZ Sudah Diatur

Saksi Sebut Pemenang Lelang Proyek Tol MBZ Sudah Diatur

Nasional
PAN Prioritaskan Kader Sendiri untuk Maju Pilkada 2024

PAN Prioritaskan Kader Sendiri untuk Maju Pilkada 2024

Nasional
Jokowi Tinjau Pasar Tumpah Mamasa, Cek Harga dan Berencana Bangun Pasar Baru

Jokowi Tinjau Pasar Tumpah Mamasa, Cek Harga dan Berencana Bangun Pasar Baru

Nasional
PKS: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran

PKS: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Punya PR Besar karena Kemenangannya Dibayangi Kontroversi

Pengamat: Prabowo-Gibran Punya PR Besar karena Kemenangannya Dibayangi Kontroversi

Nasional
Kementerian KP Gandeng Kejagung Implementasikan Tata Kelola Penangkapan dan Budi Daya Lobster 

Kementerian KP Gandeng Kejagung Implementasikan Tata Kelola Penangkapan dan Budi Daya Lobster 

Nasional
Respons Putusan MK, Zulhas: Mari Bersatu Kembali, Kita Akhiri Silang Sengketa

Respons Putusan MK, Zulhas: Mari Bersatu Kembali, Kita Akhiri Silang Sengketa

Nasional
Agenda Prabowo usai Putusan MK: 'Courtesy Call' dengan Menlu Singapura, Bertemu Tim Hukumnya

Agenda Prabowo usai Putusan MK: "Courtesy Call" dengan Menlu Singapura, Bertemu Tim Hukumnya

Nasional
Awali Kunker Hari Ke-2 di Sulbar, Jokowi Tinjau Kantor Gubernur

Awali Kunker Hari Ke-2 di Sulbar, Jokowi Tinjau Kantor Gubernur

Nasional
'MK yang Memulai dengan Putusan 90, Tentu Saja Mereka Pertahankan...'

"MK yang Memulai dengan Putusan 90, Tentu Saja Mereka Pertahankan..."

Nasional
Beda Sikap soal Hak Angket Pemilu: PKB Harap Berlanjut, PKS Menunggu, Nasdem Bilang Tak 'Up to Date'

Beda Sikap soal Hak Angket Pemilu: PKB Harap Berlanjut, PKS Menunggu, Nasdem Bilang Tak "Up to Date"

Nasional
Bima Arya Ditunjuk PAN Jadi Kandidat untuk Pilkada Jabar 2024

Bima Arya Ditunjuk PAN Jadi Kandidat untuk Pilkada Jabar 2024

Nasional
Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com