Oleh:
M Subhan SD
Hari-hari ini legenda trio komedian Dono, Kasino, dan Indro (DKI) bangkit lagi. Film Warkop DKI Reborn, Jangkrik Boss!Part 1 yang disutradarai Anggy Umbara dibintangi Abimana Aryastya (Dono), Vino G Bastian (Kasino), dan Tora Sudiro (Indro), menularkan demam baru.
Baru tayang tiga hari sejak Kamis, 8 September 2016, sudah menyedot 1 juta penonton. Hari kelima sudah mencapai 2 juta penonton. Rekor baru perfilman nasional. Luar biasa! Dasar "jangkrik boss"!
"Jangkrik boss!" menjadi ungkapan paling populer sejak muncul di film Chips Warkop DKI tahun 1982. Istilah "jangkrik" sehari-hari mungkin suatu umpatan. Namun, dalam film Warkop DKI, ungkapan "jangkrik boss" bukan sebatas umpatan, melainkan sebuah sinyal praktik suap-menyuap, kolusi, atau pemerasan.
Ketika Kasino bilang "jangkrik boss!", si bos langsung mengeluarkan "uang tutup mulut" agar aibnya yang tertangkap basah dengan perempuan tidak dibongkar.
Ungkapan "jangkrik boss" sejatinya sindiran tentang "budaya" korupsi, kolusi, perbuatan tidak terpuji. "Jangkrik boss" semacam satir, gaya kritik khas Warkop DKI. Maka, Warkop DKI Reborn yang menghidupkan kembali ungkapan 34 tahun silam itu terasa amat pas saat ini.
Film ini hadir kembali ketika budaya korup masih menjadi pemandangan sehari-hari di negeri ini. Ternyata, Indonesia belum berubah juga.
Padahal, korupsi menjadi salah satu faktor yang menumbangkan rezim Orde Baru tahun 1998. Pada zaman Orde Baru, kritik Warkop DKI dipandang kelucuan semata. Rezim tidak terusik karena barangkali itu hanyalah dialog da n adegan dalam film.
Padahal, sejatinya Warkop DKI sedang memarodikan kehidupan nyata. Bukankah, kata Graeme Turner (Film as Social Practice, 1988), film sebagai praktik kehidupan sosial. Film merupakan potret realita masyarakat.
Jadi, Warkop DKI Reborn dapat dibaca bukan semata membangkitkan kembali gairah film nasional an sich, tetapi bisa jadi-sadar atau tidak- muncul sebagai reaksi terhadap realita sosial. Boleh jadi, gagasan film ini juga muncul di tengah kesumpekan kondisi sosial, politik, hukum, ekonomi saat ini.
Pertama, keseriusan memberantas korupsi masih diragukan. Contoh teraktual adalah hukuman koruptor yang makin ringan. Tahun 2013, hukuman penggarong uang rakyat rata-rata 2 tahun 11 bulan, tetapi tahun 2016 hukumannya turun rata-rata 2 tahun 1 bulan (Kompas, 13/9).
Kedua, revolusi mental belum menunjukkan hasil signifikan. Korupsi belum dilihat sebagai perendahan martabat manusia, dosa, moral hina, perbuatan tercela, dan merusak kehidupan. Korupsi justru jadi titian bagi mereka yang haus kuasa dan harta.
Saat peringatan proklamasi Agustus lalu, ada pertanyaan menggelitik: apakah koruptor itu berarti tidak mencintai Tanah Air? Mereka pasti marah jika dituding tidak mencintai Tanah Air.
Jika mengaku cinta Tanah Air, tetapi merampok uang ne- gara juga, bagaimana logikanya? Sederhana saja sih, mencintai Tanah Air itu berarti tidak korupsi, tidak kolusi, tidak nepotis- me, tidak cacat moral, tidak terjerat narkoba, menolak pemim- pin bermasalah, apalagi sampai bersumpah untuk negara lain.
Pemerintah saja bisa diragukan ketika memberi keistimewa- an atau mencari celah hukum demi mempercepat proses status kewarganegaraan seseorang. Pasalnya, aturan konstitusi sudah jelas. Kalau pemerintah saja tidak patuh pada konstitusi, jangan harap rakyat mau patuh juga.
Padahal, cinta Tanah Air itu berproses panjang dalam seja- rah bangsa-bangsa. Misalnya, mahasiswa Belgia turun ke jalan- jalan di Brussels begitu jiwa mereka terpikat cinta suci pada Tanah Air (amor sacre de la patrie) saat menonton opera La Muette Portici (kisah pemberontakan rakyat melawan kekuasaan Spanyol) pada 25 Agustus 1830. Mereka berdemonstrasi hingga Belgia diakui merdeka 14 Oktober 1831 (Hans Kohn, 1955).
Pergumulan cinta Tanah Air Indonesia juga tak kalah panjang. Sayangnya, cinta Tanah Air itu terus digerogoti oleh korupsi dan perilaku tak bermoral. Ah, dasar jangkrik boss!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 2 dengan judul "Jangkrik Boss!".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.