JAKARTA, KOMPAS.com – Proses kaderisasi internal partai politik guna mencari calon kepala daerah berintegritas dipertanyakan.
Diberlakukannya aturan terpidana hukuman percobaan bisa menjadi calon kepala daerah menunjukkan parpol tengah krisis kader.
Kaderisasi yang selama ini digemborkan parpol berjalan stagnan.
Akhir pekan lalu, pemerintah dan DPR sepakat meminta Komisi Pemilihan Umum merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan, dengan memberikan kesempatan kepada terpidana hukuman percobaan atau terpidana hukuman ringan dapat menjadi calon kepala daerah.
Ketentuan dalam peraturan itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang menyebutkan, jika calon kepala daerah harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasar putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Sekarang partai lebih confidence mengusung calon di luar kader partainya. Jadi preseden umum kalau parpol sedang krisis figur. Rekrutmen jalan terus, tapi yang bisa diterima publik dengan kualitas baik masih sangat kurang," kata Peneliti PARA Syndicate Fahri Huseinsyah saat dihubungi Kompas.com, Selasa (13/9/2016).
Anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengaku, proses rapat dengar pendapat saat itu berlangsung alot.
Ada dua norma yang dihasilkan yang harus dipatuhi KPU: pertama tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali culpa levis dan/atau karena melakukan tindak pidana yang hukumannya bukan pidana penjara.
Kedua, tidak sedang menjalani hukuman bebas bersyarat.
Sebab, ada juga kasus hukum yang timbul akibat keisengan seseorang sehingga calon kepala daerah yang akan maju justru menjadi korban.
“Karena sudah menjadi keputusan rapat, kita menghormati,” ujarnya.
Meski begitu, Baidowi mempersilakan pihak-pihak yang tidak menerima putusan tersebut untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
(Baca: Terpidana Percobaan Bisa Ikut Pilkada, KPU Salahkan DPR dan Pemerintah)
Sementara itu, sejumlah fraksi secara tegas menolak perubahan dalam peraturan tersebut. Mereka di antaranya Fraksi PDI Perjuangan, Hanura, dan Demokrat.
Fraksi Hanura, sebelumnya melalui kapoksi mereka di Komisi II, Rufinus Hutauruk, memberikan dukungan atas perubahan itu.
Namun, Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana mengaku, fraksinya telah mencabut dukungan itu.
"Perlu dilakukan sebuah diskusi ulang di Komisi II, karena beberapa fraksi menolak. Publik juga sudah membicarakan ini menjadi, DPR sudah mesti meresponsnya," kata Dadang.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukrianto menilai, tidak seharusnya revisi Peraturan KPU justru melahirkan norma baru yang bertentangan dengan UU Pilkada.
Menurut dia, UU Pilkada secara tegas telah melarang terpidana yang tengah menjalani masa hukumannya, tanpa terkecuali, untuk ikut di dalam kontestasi pilkada.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan mengaku telah mendapat rekaman percakapan saat rapat degar pendapat akhir pekan lalu.
Dalam rekaman itu disebutkan jika awalnya persoalan redaksional terkait pasal di dalam peraturan itu akan diserahkan kepada KPU.
“Tapi ternyata tidak demikian. Terjadi manipulasi dan pemalsuan kesepakatan repat secara terstruktur dan sistematis. Modusnya, kesimpulan RDP tidak dibacakan, lalu kepada mitra sudah disiapkan kesimpulan rapat yang isinya menyetujui terpidana percobaan mencalonkan diri,” tegas dia.
“Ini zalim dan silahkan penegak hukum masuk untuk mencermati. Saya enggak hanya mau judicial review, tapi kita mau proses hukum. Kalau terbukti pemalsuan kita pidanakan, ada korupsinya kita KPK-kan,” lanjut dia.
Partai Tak Perlu Ikut Aturan
Fahri mengatakan, publik saat ini sudah cukup cerdas dalam mengamati geliat politik Tanah Air.
Ia khawatir, jika partai tetap menjadikan terpidana hukuman percobaan sebagai calon kepala daerah, partisipasi masyarakat pada pilkada akan semakin rendah.
Sementara itu, peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, sejak awal ada sejumlah parpol yang memiliki agenda untuk membuka peluang bagi terpidana hukuman percobaan untuk tetap dapat mencalonkan diri.
Namun, masyarakat tentu memiliki cara sendiri untuk menghukum parpol tersebut.
“Oleh karena itu, kepada pimpinan partai politik kita menekankan, meskipun ketentuan itu ada, sebaiknya jangan digunakan. Karena itu jelas mengurangi integritas partai politik itu sendiri, kalau calon yang diusung bermasalah, partai politik akan menuai akibat buruknya,” ujarnya.
(Baca: Terpidana Percobaan Dibolehkan Maju, Partisipasi Publik di Pilkada Diprediksi Turun)
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria. Untuk menghindari menurunnya kepercayaan publik terhadap parpol, politisi Gerindra itu menyarankan, agar parpol tak perlu mengusung terpidana kasus percobaan.
Sekali pun, ada aturan yang membolehkannya.
"Memang secara aturan perundang-undangan dan PKPU diperbolehkan, namun ini kan juga terkait kepercayaan dan harapan publik yang harus dijaga, sebaiknya partai politik tidak mencalonkan kandidat yang berstatus terpidana percobaan dan mantan narapidana," kata Riza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.