JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Kepala Kepolisian RI (Wakapolri) Komisaris Jenderal Syafruddin membantah kepolisian diskriminatif melakukan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan.
Penilaian itu muncul karena kepolisian dianggap tidak bertindak tegas terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan perusahaan tertentu.
"Tidak ada seperti itu (sikap diskriminatif), kan terbuka waktu itu (proses hukumnya)," kata Syafruddin, saat ditemui usai rapat tertutup di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2016).
Ia juga mengatakan, terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tidak berkaitan dengan adanya foto pertemuan sejumlah anggota kepolisian dengan pimpinan PT. Andika Permata Sawit Lestari (APSL).
(Baca: Komnas HAM: Upaya Penanganan Kebakaran Hutan oleh Pemerintah Masih Besifat Sporadis)
Menurut Syafruddin, hasil investigasi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, pengusaha dalam foto tersebut tidak terlibat dalam kasus kebakaran hutan.
"Tidak ada kaitannya antara SP3 dengan foto yang beredar. Karena pengusaha dalam foto itu, menurut investigasi dari propam, tidak terlibat dalam pembakaran hutan. Jadi terpisah, SP3 tetap berlaku," kata dia.
Dianggap diskriminatif
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan bahwa penegakan hukum terkait kasus pembakaran hutan yang cenderung diskriminatif.
Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan kondisi tersebut dinilai telah mengabaikan hak atas keadilan.
Menurut dia, publik tidak diberikan hak untuk tahu dan transparansi pihak kepolisian dalam menindak para pelaku pembakaran hutan yang sebenarnya.
"Penegakan hukum masih diskriminatif. Banyak masyarakat lokal yang menjadi tersangka, padahal mereka hanya pelaku di lapangan," ujar Siti saat memberikan keterangan pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2016).
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, Komnas HAM memperoleh fakta tindakan tegas hanya diberikan oleh aparat penegak hukum kepada masyarakat lokal.
Padahal, kata Siti, ada kemungkinan masyarakat yang melakukan pembakaran hutan itu disuruh oleh pihak perusahaan yang memegang hak konsesi pengelolaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kemungkinan lain, orang yang dijadikan tersangka oleh aparat merupakan masyarakat lokal yang ingin membuka lahan pertanian tanaman lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
"Petani banyak yang menjadi tersangka. Padahal masyarakat punya hak untuk membuka lahan dengan aturan yang ketat, misal menggunakan sekat bakar supaya tidak melebar. Mereka yang buka ladang biasanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya," kata dia.
Selain itu, tindakan tegas terhadap pihak perusahaan yang terlibat pembakaran hutan sudah pernah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi sebelumnya telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Dalam Inpres tersebut secara tegas Presiden memerintahkan kepada seluruh Kepala Daerah dan aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggung jawabnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.