Pilarisasi masyarakat sipil
Sebenarnya aksi kekerasan di kalangan umat beragama dapat dicegah jika kelompok masyarakat sipil (civil society) kita dapat memerankan diri sebagai benteng terakhir kerukunan dan toleransi beragama.
Meminjam istilah Bryan S Turner (2016: 266), penciptaan toleransi beragama dapat dilakukan melalui ”pilarisasi masyarakat sipil” dengan cara melakukan berbagai bentuk penguatan toleransi di tiap-tiap kluster masyarakat sipil, baik secara teologis maupun sosiologis.
Tentu saja proses penguatan tersebut harus dilakukan secara top-down, bukan bottom-up.
Artinya, para elite agamawan sebagai bagian dari masyarakat sipil harus sigap dan bertanggung jawab mengendalikan emosi massa agar kekerasan dan kerusuhan sosial bisa dicegah. Sayangnya, tidak semua elite agamawan memiliki kesadaran atau kapasitas demikian.
Dalam banyak kasus, beberapa aksi kekerasan bernuansa SARA di negeri ini justru ”direstui” oleh para elite agamawan.
Yang lebih menyedihkan, beberapa aksi kekerasan terjadi akibat pembiaran oleh para aktor negara yang semestinya berdiri di garda depan dalam melindungi setiap warga negara.
Dalam konstruk teoretik Simon Chambers dan Jeffery Kopstein (2001), kelompok masyarakat sipil yang tidak mampu mencerdaskan dan menyejahterakan para anggotanya disebut sebagai masyarakat sipil yang buruk (bad civil society).
Oleh karena itu, ada baiknya masyarakat sipil kita melakukan berbagai penguatan dan advokasi massa agar masyarakat kita mampu mendayagunakan rasionalitas publik secara maksimal.
Bekerjanya mekanisme rasionalitas publik tersebut dengan sendirinya akan menciptakan kekenyalan sosiologis di kalangan masyarakat dalam menghadapi berbagai macam provokasi yang pada gilirannya akan menciptakan kedewasaan di kalangan mereka.
Salah satu indikator kedewasaan masyarakat kita adalah dipilihnya cara-cara beradab (baca: non-kekerasan) sebagai mekanisme resolusi konflik yang baik bagi berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
Ada banyak isu provokatif yang berseliweran di ruang publik yang dapat mengancam bangunan toleransi beragama kita. Seberat apa pun tingkat provokasinya, tidak semestinya kita memilih cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah-masalah keagamaan.
Memasuki usianya yang ke-71, semoga kerukunan dan toleransi beragama kita semakin kokoh, kenyal, dan dewasa sehingga kemajemukan beragama akan membawa berkah ketimbang bencana.
Masdar Hilmy, Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.