JAKARTA, KOMPAS.com - Advokat senior Todung Mulya Lubis, menilai sistem peradilan di Indonesia masih bermasalah. Kondisi ini membuat hukuman mati tak layak diterapkan di Indonesia.
"Sistem peradilan kita tidak bersih dan tidak independen," ujar Todung dalam diskusi bertajuk "Utopia Keadilan dalam Penerapan Hukuman Mati" di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Mengacu kepada cerita gembong narkotika Freddy Budiman, Todung yakin, masih ada aparat yang terlibat peredaran barang haram tersebut. Apalagi, narkotika masih menjadi komoditi bisnis yang dianggap menggiurkan.
"Bisnis bancakan yang melibatkan banyak pihak termasuk aparat," Kata dia.
Selain itu, pemahaman hukum acara pidana oleh aparat masih belum merata. Maka dari itu, menjadi hal yang tidak tepat jika hukuman mati diterapkan namun sistem peradilannya masih bermasalah.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanesia menambahkan, ketidakpahaman aparat tampak pada kasus eksekusi mati terhadap Rodrigo Gularte (42) yang didiagnosis menderita skizofrenia.
Terpidana mati asal Brasil itu dieksekusi akhir April tahun lalu di Lapas Nusakambangan.
Semestinya, kata Putri, Rodrigo tidak bisa dieksekusi karena di KUHP sudah diatur bahwa seseorang yang mengidap kelainan jiwa tidak boleh dihukum mati.
Putri mengacu pada ayat 1, 2 dan 3 Pasal 44 KUHP. Ayat 1 pasal tersebut menyebut bahwa orang yang cacat dalam pertumbuhan atau karena penyakit tidak bisa dipidana.
(Baca: Hingga Saat Terakhir, Rodrigo Gularte Tak Sadar Akan Dieksekusi)
Sementara ayat 2, jika pelaku kejahatan cacat atau sakit, hakim bisa memerintahkan agar pelaku dirawat di rumah sakit jiwa selama satu tahun percobaan.
Ketentuan itu berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan tinggi dan Pengadilan negeri disebut di ayat 3.
Putri yang ketika itu menemani Rodrigo menjeleng eksekusi, menuturkan, saat itu ada seorang Jaksa dari Kejaksaan Agung bersama dokter datang ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap untuk memastikan kondisi Rodrigo.
Kemudian mereka berbincang bersama Rodrigo selama kurang dari satu jam.
Setelah kunjungan singkat itu, kata Putri, dokter membuat surat keterangan bahwa Rodrigo tidak sakit jiwa karena dia bisa diajak bicara.