JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai, hukuman mati di Indonesia kerap digunakan sebagai alat politik untuk meningkatkan elektabilitas pimpinan negara.
Hal itu dikatakan Koordinator Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari, seusai diskusi 'Hukuman Mati VS Fair Trial di Indonesia' di Plaza indonesia, Jakarta, Kamis (8/9/2016).
"Hukuman mati sering dipakai hanya sebagai alat politik demi meningkatkan elektabilitas pimpinan negara," ujar Rizki.
Ia menjelaskan, penggunaan hukuman mati sebagai alat politik untuk memunculkan kesan bahwa negara tegas menindak dan memberantas kejahatan.
Padahal, kata Rizki, tak ada data empiris yang menunjukkan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka kejahatan.
Ia menyebutkan, kejahatan narkotika, yang terpidananya paling banyak divonis hukuman mati, justru meningkat pada Juni 2016 jika dibandingkan tahun 2015.
Berdasarkan data Direktorat IV Badan Resor Kriminal Polri per Juni 2016, tercatat ada 13.851 kasus penyalahgunaan narkoba.
Kejahatan ini meningkat 47,16 persen dari semester pertama 2015 yang hanya 9.412 kasus.
"Sebenarnya tidak ada data yang memperlihatkan bahwa hukuman mati berdampak pada menurunnya kejahatan," kata Rizki.
Selain itu, sistem peradilan di Indonesia juga dinilai belum mendukung penerapan hukuman mati.
Hal ini, kata Rizki, dibuktikan dengan banyaknya terpidana tidak diberikan kesempatan yang sama untuk memberi pembelaan.
"Karena banyak sekali hukuman mati dijatuhkan dalam sistem peradilan pidana yang tidak ideal. Tidak diberi kesempatan yang sama memberikan pembelaan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.