JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung akan mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Mantan Ketua DPR, Setya Novanto terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Tindak Pidana Korupsi.
Kajian tersebut akan jadi acuan untuk menentukan langkah hukum terhadap penyelidikan kasus pemufakatan jahat yang menyeret nama Setya Novanto.
MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang diajukan Novanto. (Baca: MK Terima Sebagian Gugatan UU ITE yang Diajukan Setya Novanto)
Dalam putusannya, majelis menyatakan, pemberlakuan penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE.
MK juga mengabulkan sepenuhnya uji materi atas Pasal 15 UU Tipikor yang diajukan Novanto. (Baca: MK Kabulkan Gugatan Setya Novanto Terkait Tafsir "Pemufakatan Jahat")
MK menyatakan istilah pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.
Sementara di Pasal 15 UU Tipikor menyebut bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Frasa "pemufakatan jahat" dalam pasal ini mengacu pada Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
MK berpendapat, Pasal 88 KUHP yang diacu oleh Pasal 15 tak merinci pengertian "pemufakatan jahat".
Adanya putusan MK tersebut sedianya berpengaruh pada kelanjutan proses penyelidikan kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport yang saat ini ditangani Kejagung.
Kasus yang terkenal dengan sebuta "papa minta saham" itu diduga kuat terdapat unsur pemufakatan jahat.
"Masih perlu mendalami keputusan MK, belum bisa berkomentar, kami masih perlu mendalaminya," ujar kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M rum, saat dihubungi, Rabu (7/9/2016).
Seperti diketahui, Novanto tersangkut masalah dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport.
Saat itu, Novanto masih menjabat sebagai Ketua DPR. Kontrak perpanjangan sedianya dilakukan oleh Menteri ESDM dengan pihak Freeport.
Hal itu terungkap dalam rekaman percakapan antara Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport ketika itu, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid.
Pertemuan itu direkam oleh Maroef. Rekaman itu kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyelidikan dugaan adanya permufakatan jahat.
Namun, pengusutan kasus tersebut tidak berjalan dengan alasan penyidik Kejaksaan tidak bisa meminta keterangan Riza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.