JAKARTA, KOMPAS.com - Tujuh polisi hutan dan penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dilaporkan disandera sekelompok orang saat menyegel lahan yang terbakar.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit hari ini, Senin (5/9/2016), sekelompok orang yang menyandera itu diduga dikerahkan PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL).
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi, berpendapat bahwa peristiwa tersebut menunjukkan fenomena krisis penegakan hukum di mana aparat sudah kehilangan kewibawaanya.
"Penghormatan terhadap hukum sudah tipis dan kehilangan kewibawaannya. Ini menjadi alarm bagi Presiden Jokowi untuk lebih serius dalam penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan," ujar Yuyun saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/9/2016).
(Baca: Menurut Kapolri, Penyandera Polisi Hutan dan PPNS KLHK Merasa Diperlakukan Tak Adil )
Menurut Yuyun, kasus penyanderaan itu menjadi peringatan bagi Presiden Joko Widodo untuk lebih serius dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Yuyun mengatakan unsur pemerintah seperti KLHK, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman harus bisa meningkatkan koordinasi dan kerja sama dalam menghadapi pihak korporasi yang terlibat dalam kasus kebakaran hutan.
Selain itu, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum terhadap kasus kejahatan di sektor lingkungan juga harus dilakukan.
"Memang harus ada peningkatan kerja sama yang lebih kuat antara KLHK, Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman," ungkapnya.
(Baca: Polda Riau Sebut Penyanderaan Polisi Hutan karena Salah Paham)
Kasus penyanderaan ini pun menyulut respons keras Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
"Itu melawan hukum dan merendahkan kewibawaan negara, apalagi diduga perusahaan terlibat," ujar Siti Nurbaya di Jakarta, Minggu (4/9/2016).
Sebelum disandera, polisi hutan dan penyidik dari Balai Penegakan Hukum KLH sedang menyegel dan mengumpulkan barang bukti kebakaran hutan, Jumat (2/9/2016). Namun dalam perjalanan, mereka dicegat massa, kemudian dipaksa untuk mencabut segel serta menghapus foto dan video yang direkam.
Polisi hutan dan penyidik KLH itu menemukan indikasi kuat bahwa PT APSL memakai modus pembentukan tiga kelompok tani untuk mengelola kebun sawit. Adapun anggota kelompok tani itu adalah pekerja PT APSL.
(Baca: Tujuh Polisi Hutan dan Petugas Disandera Usai Segel Lahan, Pemerintah Kini Incar PT APSL)
Cara itu selama ini diketahui sebagai modus umum perambahan. Aparat pun menemukan lokasi kebun sawit yang terbakar amat luas dan berasap, dan ada di hutan produksi.
"Semua aktivitas di lokasi itu ilegal," kata Siti.
Selain itu, polisi hutan dan penyidik KLH juga menemukan penumpukan kayu yang akan jadi jalur bakar. Dengan demikian, ada indikasi lahan itu siap dibakar.
Namun, temuan yang sebelumnya direkam kamera itu terpaksa dihapus atas paksaan massa penyandera. Berdasarkan pengakuan korban sandera, sekitar seratus penyandera mengancam akan memukul dan membunuh.
Setelah melalui negosiasi yang menghadirkan Kapolres Rokan Hulu, massa pun melepaskan sandera pada Sabtu (3/9/2016) dini hari. Menanggapi berbagai temuan dan aksi penyanderaan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa pihaknya kini mengincar PT APSL.
"Dengan insiden ini, penyelidikan pada PT APSL jadi prioritas kami," kata Siti.
Tiga poin penting terkait APSL, yakni perambahan hutan, kebakaran di kebun, dan penyanderaan.
Sedangkan Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, karena kejadian itu, kasus kebakaran APSL diambil alih Direktorat Penegakan Hukum Pidana KLHK.
Bantah kerahkan massa
Saat dikonfirmasi, PT APSL membantah telah memerintahkan dan menjadi dalang atas aksi penyanderaan. Menurut pengacara PT APSL, Novalina Sirait, lahan yang terbakar itu milik kelompok tani, bukan milik perusahaan.
"Luas lahan PT APSL hanya 3.112 hektar di Rokan Hulu. Lahan kami tak terbakar, yang terbakar milik warga," ujarnya.
Sebelumnya, pengungsi yang ditemui di tepian Sungai Rokan Kiri mengaku bekerja di PT APSL. Mereka menyebut, lokasi perusahaan di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir.
PT APSL menjadi sorotan setelah beredar foto di media sosial yang memperlihatkan kongko-kongo petinggi perusahaan itu dengan sejumlah perwira polisi di Riau. Hal itu pun menimbulkan kecurigaan di masyarakat, mengingat PT APSL lepas dari jerat hukum atas kasus pembakaran hutan.
Namun, Polda Riau membantah foto tersebut terkait pertemuan pejabat polisi dengan petinggi PT APSL untuk membahas kasus kebakaran hutan di Riau.
"Gambar itu dimasukkan ke Instagram oleh salah satu anggota kami, ternyata malah diberitakan seolah ada kongko dengan tersangka. Tidak begitu," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo.
Guntur menganggap, berita yang diedarkan itu terlalu menyudutkan dan penuh opini.
"Tidak mendasar membuat beritanya. Makanya mesti konfirmasi dulu," kata dia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.