JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai, putusan hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap Mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, mencederai rasa keadilan.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Edo Rakhman mengatakan, vonis yang diberikan sangat ringan yakni hanya 3 tahun penjara. Bahkan, hukuman tersebut lebih rendah dari gugatan yang diajukan jaksa KPK.
"Seharusnya hakim menjatuhkan hukuman penjara dan denda maksimal sesuai Pasal 5 Ayat 1a selama lima tahun dan Rp 250 juta," ujar Edo dalam konfrensi pers di kantor Walhi, Jakarta Selatan, Jumat (2/9/2016).
(Baca: Mantan Presdir PT Agung Podomoro Land Divonis 3 Tahun Penjara)
"Nah ini yang harusnya menjadi komitmen dari proses penegakan hukum khusus soal korupsi di Indonesia," tambah dia.
Atas putusan tersebut, kata Edo, pihaknya pun mempertanyakan keseriusan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Padahal, korupsi yang dilakukan Ariesman dapat dikategorikan sebagai kasus besar.
"Kami melihat sangat tidak sesuai dengan putusan Tipikor tersebut kalau hanya diputus tiga tahun. Siiat korupsi yang dilakukan adalah grand corruption," kata dia.
Ia mengatakan, ada sejumlah indikator sehingga kasus ini bisa disebut sebagai grand corruption.
Edo mengatakan, Ariesman merupakan pimpinan korporasi terbesar di Indonesia, yakni PT Agung Podomoro Land dan juga tercatat sebagai Direktur Utama PT Jaladri Kartika Paksi yang menangani proyek reklamasi pulau I.
(Baca: Hakim Nilai Ariesman Gunakan Uang Korporasi untuk Pengaruhi Sanusi soal Raperda)
Selain itu, lanjut Edo, Ariesman juga menjadi kuasa PT Jakarta Propertindo yang menangani Pulau F. Menurut dia, proyek reklamasi itu hanya mencari keuntungan bagi korporasi.
Di sisi lain, dampak dari proyek tersebut menghancurkan lingkungan, menghilangkan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
"Ini merupakan bentuk kejahatan korporasi yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara," kata dia.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Ariesman dengan hukuman 3 tahun penjara. Selain pidana penjara, Ariesman juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Mengadili, menyatakan, terdakwa Ariesman Widjaja terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut, sesuai dakwaan kesatu," ujar Ketua Majelis Hakim Sumpeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (1/9/2016).
(Baca: Hakim Nilai Ariesman Widjaja Pernah Berkontribusi untuk Ibu Kota)
Ariesman dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim menilai perbuatan Ariesman bertentangan dengan upaya pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi.
Adapun, hal yang meringankan yaitu, Ariesman selaku pengembang dinilai pernah berkontribusi untuk pembangunan di DKI Jakarta. Majelis Hakim menilai Ariesman Widjaja terbukti menyuap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi sebesar Rp 2 miliar secara bertahap.
Suap tersebut diberikan dengan maksud agar M Sanusi yang juga anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
(Baca: Ariesman Akui Keberatan soal Tambahan Kontribusi 15 Persen)
Selain itu, suap diberikan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman, selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra, agar mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G, kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Selain itu, salah satu yang dipersoalkan yakni, terkait pasal mengenai tambahan kontribusi sebesar 15 persen bagi pemilik izin reklamasi. Ariesman dan para pengembang merasa keberatan dengan pasal tersebut, kemudian menggunakan Sanusi agar bunyi pasal tersebut diubah.