Oleh: Dedi Muhtadi
KOMPAS - Gunung Cakrabuana yang terletak 40 kilometer di utara Kota Tasikmalaya merupakan ujung dari batas Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, dan Majalengka, Jawa Barat. Di perbukitan lereng timur gunung setinggi 1721 meter di atas permukaan laut itu, ada sumber air yang menetes tiada henti ke selokan kecil di Desa Guranteng, Tasikmalaya.
Dengan modal "dengkul" mandiri (MDM), warga melakukan konservasi di selokan yang merupakan hulu Sungai Citanduy itu. Terminologi MDM alias swadaya masyarakat dikembangkan oleh Asep Hidayat (56), pegiat lingkungan dari Gerakan Lestari Alam Terpadu (Geliat) di Sungai Citanduy. Bersama teman-temannya di pergerakan lingkungan, pria berambut gondrong yang lebih dikenal dengan Asep Citanduy itu, mengadvokasi warga Kampung Cikadu, Guranteng, agar menghijaukan lahan-lahan pengangonan secara mandiri.
Kehadiran pemerintah dalam rangka menghijaukan perbukitan di batas wilayah tiga kabupaten itu sangat minim. Upaya pelestarian dan perlindungan hutan yang seharusnya dilakukan di lereng-lereng terjal hulu sungai hanya ada dalam teori lingkungan hidup. Paling tidak itu yang dilihat Asep setelah mengitari perbukitan Cikadu, kampung paling tinggi yang berhadapan langsung dengan perbukitan Cakrabuana.
Sepintas perbukitan dengan tinggi 700 meter di atas permukaan laut itu rimbun dan dari jauh terlihat pemandangan kehijauan. Namun, penutup lahan bukan tegakan pohon tanaman keras, melainkan tanaman perdu dan alang-alang. Ini sangat membahayakan karena tidak ada penahan tanah sehingga rawan longsor.
Ketua Rukun Warga Cikadu, Uu Taryono (56), membenarkan, selain sering longsor, kurangnya tanaman pelindung di perkampungan itu berpengaruh terhadap daya serap air.
Padahal, di kawasan hulu, Citanduy kecil, yang lebarnya hanya 1-2 meter, mengairi ratusan hektar sawah di dua wilayah, yakni Desa Guranteng Kabupaten Tasikmalaya, dan Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Sungai itu terus mengalir sepanjang 150 kilometer ke hilir hingga bermuara di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Setiap daerah yang dilalui sungai, seperti Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, dan Kota Banjar memanfaatkan air Citanduy untuk berbagai keperluan, terutama untuk PDAM dan irigasi. "Kualitas air masih bagus karena air Citanduy belum tercemar limbah industri," ujar Asep.
Beratus-ratus tahun air sungai itu telah menghidupi jutaan orang di sepanjang wilayah yang dilaluinya.
Persemaian mandiri
Mengapa di hulu sungai itu minim tegakan pohon keras? Baik Asep, Uu Taryono, maupun Ketua Rukun Tetangga Cikadu, Mamat Rahmat (46), tidak secara gamblang menjelaskannya. "Sehebat apa pun program penghijauan dan anggaran, jika tidak melibatkan masyarakat, tidak berhasil baik," kata Asep.
Tahun 2014, Asep yang tinggal di Ciawi, sekitar 20 kilometer dari Guranteng, mendatangi masyarakat Kampung Cikadu untuk memberi penyuluhan tentang pentingnya menjaga keutuhan lahan di kampung itu. Warga Cikadu yang dipimpin oleh Mamat Rahmat menyambut baik ajakan itu. Malah Mamat menyediakan tempat tinggal bagi Asep selama penyuluhan dan membangun persemaian di lapangan.
"Penyadaran ini kami lakukan sepanjang tahun 2014 agar warga benar-benar paham betapa pentingnya menjaga sumber air," ujarnya.
Untuk advokasi ini, Asep menggandeng beberapa pakar dari Unversitas Indonesia sebagai mitra konsultasi berkala.
Gerakan sukarela ini menarik banyak simpati, terutama dari warga desa yang langsung merasakan. Akan tetapi, tidak sedikit yang mencibir dan mengejek, terutama ketika Asep tinggal berminggu-minggu di pegunungan untuk membangun persemaian. Asep bergeming, bak pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu.
Warga sadar betapa pentingnya sumber air bagi kelangsungan hidup mereka. Ketersediaan air juga menjamin kelangsungan hidup peternakan sapi perah yang selama ini mereka geluti. Karena itu, pada awal 2015 dimulailah penanaman pohon-pohon secara gotong-royong.
Selain dari persemaian, Geliat mendapat bantuan ribuan bibit pepohonan, seperti petai, durian, mangga hingga jambu air dari Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Anang Sudarna.
Gotong royong
Awalnya lahan yang ditanam adalah tanah oro-oro, yakni lahan pengangonan di tebing atau lahan miring yang pepohonannya sedikit dan telantar. Dari 140 keluarga di Cikadu, setiap hari 19 warga bekerja menggali dan menanam pohon. Dari 19 tenaga kerja itu, 4 orang dibebaskan dari kewajiban bekerja. Sebagai gantinya, mereka harus menyediakan konsumsi untuk 15 orang yang bekerja.
Pola gotong royong ini terus bergulir hingga tertanam 49.000 pohon di tiga blok lahan masyarakat di Kampung Cikadu. Blok-blok lahan miring di tebing-tebing ini disebut Asep sebagai ring dua karena berada di lingkungan perkampungan. Ring satu adalah lahan-lahan perbukitan yang letaknya semakin ke hulu dan mendekati puncak gunung.
Pada pertengahan Juni 2015, bintang iklan yang juga Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar berkunjung ke Cikadu untuk melihat kondisi masyarakat di hulu Sungai Citanduy itu. Deddy mengapresiasi perjuangan tanpa pamrih yang dilakukan warga Kampung Cikadu. Mereka telah berupaya menjaga kawasan hulu Citanduy sebagai cikal bakal mata air abadi yang mengalir jauh sampai ke Segara Anakan.
Pada awal Juli 2016, puluhan ribu pohon yang ditanam itu sudah ada yang memiliki tinggi 2 meter. Pohon-pohon yang tinggi menonjol itu, antara lain mahoni uganda, suren, ki haji, kayu damar, dan trembesi. Jenis pohon lain masih pendek, seperti pohon jambu air, petai dan durian. Karena itu, pemeliharaan tanaman diintensifkan. Setiap warga bertugas memupuk dan memelihara tanaman.
Geliat berharap, secara berkala dan turun-temurun warga kampung melanjutkan upaya konservasi di hulu Citanduy. Prasyaratnya, perut mereka harus selalu penuh. Pendidikan anak-anaknya harus terjamin dan kesehatan harus terjaga.
Ini butuh uluran tangan pemerintah karena untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) saja warga Cikadu harus berjalan kaki 1 kilometer turun naik bukit ke kampung lain. "Kami hanya punya madrasah," ujar Mamat seraya memperlihatkan bangunan yang atapnya bolong-bolong, bangku tidak lengkap, dan jendela rusak.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 22 dengan judul "Geliat Penghijauan di Hulu Sungai Citanduy".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.