JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan terorisme masih tumbuh subur di Indonesia. Namun, karakternya berubah dari era ke era.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik sosial Universitas Indonesia (UI) Sholahudin, sebelum tahun 2010, kelompok teroris di Indonesia menyasar simbol-simbol barat atau far enemy.
"Mereka menyerang Amerika dan sekutu-sekutu. Simbol apapun dari mereka pasti diserang," ujar Sholahudin dalam acara seminar di Graha Oikumene, Jalan Salemba, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2016).
Namun setelah tahun 2010, kelompok teroris mengubah sedikit sasaran mereka dari yang tadinya far enemy menjadi near enemy.
Sasaran mereka, yakni pemerintah, Polisi dan TNI.
(Baca: "Teroris di Indonesia, Nafsu Besar Tenaga Kurang")
Hal ini terjadi juga lantaran banyak anggota-anggota teroris yang ditembak mati oleh Polisi.
Kini, pola jihad mereka pun mulai dikembangkan. Jika dahulu seluruh anggota diwajibkan untuk berjihad di manapun mereka berada, namun kini ada kecenderungan tempat berjihad yang tepat adalah di Syria.
Maka tidak heran jika banyak simpatisan warga negara Indonesia berbondong-bondong 'hijrah' ke Suriah untuk berjihad di sana.
"Pernah ada salah satu televisi mewawancarai salah satu teroris yang merampok. Dia merampok Rp 350 juta. Saat ditanya uang itu untuk apa, dia bilang untuk jihad di Suriah. Nah ini jadi salah satu indikator," ujar Shol
Aliran Dana
Soal aliran dana pun berubah. Sebelum tahun 2010, kelompok teroris mendapatkan sokongan dana penuh dari Al-Qaeda.
Namun, medio 2011-2015, teroris Indonesia lebih independen dalam hal mencari sumber dana. Pada periode tahun 2011 sampai 2013 misalnya, dikenal kelompok Fa'i.
Mereka merampok bank atau orang. Uang hasil rampokan itu digunakan untuk pembiayaan 'amaliyah' (aksi teror).