Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Regulasi Merendahkan Perempuan, Komitmen Pemerintah Dipertanyakan

Kompas.com - 21/08/2016, 19:03 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komitmen Pemerintah Indonesia terkait penghapusan kekerasan dan praktik diskriminasi terhadap perempuan dinilai belum direalisasikan secara maksimal.

Peneliti dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI), Estu fanani mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan ini masih ditemui produk undang-undang dan peraturan daerah yang bertentangan dengan Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW).

"Saya menilai upaya pemerintah terkait penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan belum maksimal," ujar Estu dalam diskusi bertajuk Politik, Keragaman dan Keadilan Gender di Indonesia di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/8/2016).

Estu menjelaskan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dengan adanya ratifikasi tersebut, secara internasional Indonesia telah menunjukkan komitmennya.

Namun, menurut Estu, komitmen tersebut tidak begitu terlihat di tingkat nasional. Ratifikasi CEDAW, kata Estu, belum menjadi landasan hukum dalam merumuskan kebijakan nasional.

Estu menyebutkan beberapa produk hukum yang bertentangan dengan CEDAW antara lain UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Perda no 8 tahun 2005 tentang pelarangan prostitusi di Tangerang.

Selain itu, masih terdalat beberapa fakta situasi diskriminasi terhadap perempuan yang masih tinggi, misalnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan perdagangan manusia.

Dalam akses dan partisipasi pembangunan, keterwakilan perempuan dalam jabatan publik juga dinilai masih rendah. Sementara dalam bidang kesehatan, angka kematian ibu masih tinggi dan pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi yang terjangkau belum terpenuhi.

"Jika sudah memiliki komitmen di tingkat internasional maka seharusnya juga harus dilaksanakan di tingkat nasional," kata Estu.

Sementera itu, dalam kesempatan yang sama, komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan bahwa sejak 2009 hingga Agustus 2016, pemerintah menerbitkan 421 aturan yang dianggap diskriminatif.

Kebijakan-kebijakan itu dianggap diskriminatif lantaran memiliki aturan kriminalisasi, mengandung moralitas dan agama, dan pengaturan terhadap kontrol tubuh.

"Saat ini ada 400 produk kebijakan di tingkat nasional yang mendiskriminasi kelompok perempuan," ungkap Mariana.

Catatan Komnas Perempuan, dari 33 kebijakan diskriminatif tersebut, terdapat 18 kebijakan yang mengatur kriminalisasi, 12 kebijakan mengenai moralitas dan agama, serta tiga kebijakan yang mengatur kontrol tubuh.

Menurut Mariana, banyaknya peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan menunjukkan kaum perempuan belum menjadi bagian dari gerakan demokrasi di Indonesia. Gerakan perempuan saat ini, kata Mariana, masih berada dalam lingkup isu pemberdayaan dan belum menyentuh akar persoalan yakni perlindungan HAM.

"Dalam demokrasi, perempuan belum terintegrasi, belum menjadi bagian dari isu HAM. Gerakan perempuan hanya berada dalam isu pemberdayaan," tuturnya.

Menanti langkah konkret pemerintah

Terkait masih tingginya tindakan diskriminatif terhadap perempuan, Estu berharap Pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret.

Estu berpendapat, Pemerintah bisa memulai langkah konkret tersebut dengan menyosialisasikan isu-isu perempuan yang tercantum dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan kepada para pejabat pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum.

Menurutnya, persoalan diskriminasi disebabkan oleh kurangnya pemahaman para aparatur pemerintah terkait perlindungan hak kaum perempuan.

Dia menilai perlu adanya komitmen yang tinggi dan konsisten dari stakeholder pembangunan dalam menjalankan ratifikasi CEDAW. Sehingga fakta dan situasi diskriminasi terhadap perempuan melalui kebijakan dan produk hukum bisa diminimalisasi.

"Pertama sosialisasikan mengenai konvensi itu. Berikan pemahamanan kepada aparat penegak hukum dan masyarakat bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia," kata Estu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Nasional
Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Nasional
Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Nasional
Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Nasional
Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Nasional
Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi kasus APD Covid-19

Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi kasus APD Covid-19

Nasional
Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Nasional
Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Nasional
Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Nasional
Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Nasional
Petugas 'Ad Hoc' Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Petugas "Ad Hoc" Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Nasional
Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Nasional
Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Nasional
Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasional
KPK Periksa Anggota DPR Ihsan Yunus Jadi Saksi Pengadaan APD Covid-19

KPK Periksa Anggota DPR Ihsan Yunus Jadi Saksi Pengadaan APD Covid-19

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com