JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan situasi demokrasi di Indonesia yang terjadi sejak masa reformasi 1998 dinilai belum sejalan dengan semangat pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi kaum perempuan.
Meski reformasi membawa banyak perubahan dari sisi kebebasan berpendapat, namun saat ini masih banyak ditemui praktik diskriminasi yang dialami oleh perempuan.
Peneliti dari CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) Working Group, Estu Fanani, mengatakan bahwa saat ini tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan masih banyak terjadi.
Menurutnya, praktik diskriminasi tersebut banyak terjadi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Bentuknya pun bermacam-macam, antara lain kekerasan fisik maupun psikis, stigma negatif, domestikasi dan marginalisasi.
"Perempuam masih mengalami diskriminasi di beberapa bidang, bentuknya pun bermacam-macam. Ada tindak kekerasan, stigma sosial, domestikasi, dan peminggiran atau marginalisasi," ujar Estu dalam diskusi bertajuk "Politik, Keragaman dan Keadilan Gender di Indonesia" di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/8/2016).
Estu menjelaskan, di bidang politik, praktik diskriminasi masih dialami perempuan dengan banyak bentuk. Salah satunya terkait soal kuota keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pemerintah.
Menurutnya, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif saat ini belum mencapai 30 persen sebagaimana yang sudah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Namun dalam kenyataannya, kata Estu, keterwakilan kaum perempuan yang duduk di badan legislatif saat ini hanya sekitar 15 persen.
"Dan perlu dilihat lagi apakah dari 15 persen tersebut paham akan persoalan perempuan," ungkapnya.
Diskriminasi yang dialami perempuan juga terjadi di ranah sosial dan budaya. Menurut Estu sudah sejak lama perempuan mengalami domestikasi di tengah masyarakat. Artinya, masyarakat masih memandang peran perempuan hanya terbatas di ranah tertentu saja, misalnya dalam ranah rumah tangga atau seputar persoalan dapur.
Selain itu, perempuan yang menduduki posisi strategis di pekerjaannya pun tidak bisa dilepaskan dari stigma negatif. Perempuan kerap dipandang tidak bisa mengambil keputusan atau membuat kebijakan sebaik kaum laki-laki.
Estu menuturkan hal tersebut disebabkan karena masih adanya pola pendidikan keluarga di Indonesia yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Di lingkup keluarga, masih banyak perempuan yang tidak dilibatkan dalam hal pengambilan keputusan. Penyebab lain yaitu adanya nilai-nilai di masyarakat yang menyudutkan perempuan.
Estu mencontohkan, adanya anggapan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis karena akan dianggap lemah. Sedangkan perempuan yang menangis akan dipandang sebagai satu hal yang biasa karena perempuan dianggap sebagai individu yang lemah.
"Masih ada stigma bahwa perempuan selalu dianggap sebagai individu yang tidak mandiri," kata Estu.
Kriminalisasi terhadap perempuan
Persoalan diskriminasi juga terjadi di ranah peraturan perundang-undangan. Estu menuturkan, saat ini ada banyak peraturan yang cenderung mengkriminalisasi kaum perempuan.
Di sisi lain, Estu mengakui pemerintah Indonesia sudah sudah memiliki komitmen untuk mengangkat isu hak perempuan dalam beberapa peraturannya seperti Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun, dalam implementasinya Estu menilai belum sesuai dengan semangat kesetaraan gender dan persamaan hak karena dalam beberapa kasus kekerasan seksual ataupun rumah tangga, justru perempuan dianggap sebagai pihak yang bersalah.
"Indonesia sendiri telah meratifikasi CEDAW. Secara internasional sudah mengakui adanya hak-hak perempuan yang harus dilindungi. Namun dalam pelasanaannya sering kali tidak sesuai dengan peraturan yang ada," tuturnya.
Estu menyebut masih banyak peraturan hukum di Indonesia yang melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Bentuknya mulai dari undang-undang, surat keputusan hingga peraturan daerah.
Dalam Perda kota Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan Pelacuran misalnya, Estu memandang adanya potensi mendiskriminasi dan mengkriminaliasi perempuan.
Pasal 4 perda tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.
Menurut Estu, pasal itu membahayakan posisi perempuan karena harus diakui persoalan prostitusi akan selalu dilekatkan terhadap kaum perempuan.
"Dari pasal 4 menunjukkan Perda itu dibuat berdasarkan asumsi yang berpotensi menimbulkan diskriminasi dan itu sudah terjadi. Ada beberapa kasus perempuan yang ditangkap karena dituduh sebagai pelacur," tutur Estu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.