JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan, filosofi lapas tidak lagi sebagai bentuk penghukuman balas dendam terhadap pelaku pidana.
Kini, lapas adalah tempat untuk menyiapkan narapidana kembali ke masyarakat.
"Agar dapat produktif lagi saat kembali ke masyarakat. Maka di penjara ada reedukasi kemudian ada remisi. Remisi lahir dari filosofi seperti itu," kata Ifdhal dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (20/8/2016).
Namun, ia mengingatkan remisi tidak bisa diberikan secara serampangan. Jika remisi diputuskan tidak dengan pertimbangan yang tegas akan menyalahi filosofi lapas.
Ifdal merespons adanya upaya pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam revisi itu, status Justice Collaborator (JC) akan dihilangkan sehingga koruptor bisa mendapatkan remisi dan tidak perlu bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap keterlibatan pelaku lainnya.
"Permasalahan sekarang ini remisi jangan diobral. Bahkan yang perlu diperhatikan yaitu panitia yang memberikan remisi ini," ucap Ifdhal.
Menurut Ifdhal, diperlukan reformasi pada tim pengkaji pemberian remisi di Kementerian Hukum dan HAM. Yang terlibat dalam tim jangan hanya internal, tapi melibatkan orang-orang di luar kementerian itu.
"Pemberian remisi ini jangan hanya unsur internal (Kemenkumham). Sekarang panitia ini terdiri dari Kalapas dan unsur Kemenkumham. Harusnya ada elemen masyarakat," ujar Ifdhal.
Ia menuturkan pelibatan elemen masyarakat dalam tim pemberi remisi akan membuat pemberian remisi lebih bertanggung jawab. Hal itu diperlukan untuk menghilangkan jual beli status JC bagi koruptor.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan, PP akan direvisi karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Alasan kedua, pembuatan PP itu tidak melalui syarat prosedur formal, salah satunya dikaji pakar terlebih dahulu.
Dengan adanya revisi PP ini, Yasonna mendorong supaya tidak ada diskriminasi persyaratan bagi semua terpidana.
Yasonna menyatakan, revisi PP itu mendorong agar prosedur pemberian remisi bagi seluruh narapidana dibuat menjadi satu pintu, yakni melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
TPP-lah yang nanti menilai berapa remisi yang didapatkan oleh seorang narapidana. TPP terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ahli psikologi dan sebaginya.
Yasonna memastikan, TPP akan tetap ketat dalam pemberian remisi bagi terpidana perkara-perkara kejahatan luar biasa. "Ya sudah pastilah (akan mempersulit remisi), namanya juga extraordinary crime," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.