Negara Indonesia yang baru 15 tahun ia pimpin, memang bukan negara Islam. Tapi pidatonya yang fenomenal itu, ia buka dengan (QS. al-Hujurat [49]: 13), "Hai, sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsabangsa dan bersukusuku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku."
Nukilan ayat al-Quran itulah modal utama terbesar baginya untuk menelanjangi kepongahan bangsa Barat. Usai membongkar kegalatan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang gasal, ia mengajukan tawaran menarik tentang adicita baru berkelas dunia, Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Global, Musyawarah Mufakat, dan Keadilan Dunia.
Sepotong ayat al-Quran itu pula yang lantas membuat para raja negeri berasas Islam kebakaran jenggot. Setidaknya, sejak era moderen dibingkai PBB dengan sekian pembakuan terorganisir, tak satu pun pemimpin Arab yang mengutip al-Quran dalam pidato mereka dan menggelorakannya dalam perjuangan melawan kolonialisme. Sukarno yang tak berdarah Arab itulah pemimpin pertama sebuah negara, yang cergas membacakan ayat al-Quran di forum internasional.
Seakan tak puas menguliti dunia Barat, Sukarno yang berbicara atas nama 92 juta rakyatnya, memungkasi pidato legendaris itu dengan kalimat yang bahkan hingga hari ini belum juga berani dilontarkan oleh para pemimpin Asia:
"Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik.
Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai.
Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan dapat mencapai kejayaan yang penuh.
Telah dikatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah suatu revolusi harapan yang meningkat. Ini tidak benar! Kita hidup di tengah-tengah revolusi tuntunan yang meningkat.
Mereka yang dahulunya tanpa kemerdekaan, kini menuntut kemerdekaan. Mereka yang dahulunya tanpa suara, kini menuntut agar suaranya didengar. Mereka yang dahulunya kelaparan kini menuntut beras, banyak-banyak dan setiap hari.
Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh, kuat, dan sehat! Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia.
Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan."
Atas keberanian yang luar biasa itu, setahun kemudian di Kairo, Mesir, Sukarno dinobatkan sebagai Pahlawan Islam oleh para pendiri-pembangun bangsa di seantero Asia-Afrika. Penobatan itu pula yang lantas menginspirasinya membentuk gerakan Non-Blok. Sebuah gerakan yang dengan penuh perhitungan matang, merangkul masyarakat dunia guna menyadari betapa kita semua setara di bawah kaki langit. Sama mencintai perdamaian. Sama menginginkan kebahagiaan.
Kini, 71 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun wajah dunia hanya bersalin rupa. Sekadar merias diri dengan tampilan baru. Bedanya sedikit saja. Amerika tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Keluarga bankir Rockefeller, Morgans, Warburgs, Rothschild, adalah biang kerok di balik kebrutalan Amerika pascaPerang Dunia I yang mereka gelorakan sendiri.
Perang demi perang, teror demi teror, terus diciptakan secara sengaja. Agar kemiskinan merajalela dan perbudakan moderen kian sulit dilawan. Utang pun digelontorkan atas nama penggusuran tirani demi mendirikan sebuah negara demokrasi. Padahal semua itu semata mengukuhkan hasrat Rockefeller cs membangun one world government (satu pemerintahan dunia).
Soviet yang kini menjadi Rusia, sudah tak lagi komunis. Mereka aktif berdagang senjata di medan pertempuran mana pun yang pecah di seantero dunia. Mereka tak benar-benar menjadikan Amerika sebagai rival secara politis. Melainkan murni urusan pengaturan dunia, ekonomi, dan bisnis global.
Seperti Obama, Putin juga dikendalikan mafia yang terdiri dari para baron minyak dan senjata. Tak heran bila negara-negara di bawah kendali Rusia saat ini sedang bersusah payah melepaskan diri dari jeratan kebangkrutan dan bubar jalan.
China juga setali tiga uang dengan Amerika dan Rusia. Sejak tak lagi menamai diri dengan Negeri Tirai Bambu, negara-bangsa tua ini pun mulai melirik kue ekonomi yang bisa mereka rebut. Xi Jinping tak benarbenar serius meneruskan kiprah komunisme di negara ini. Nama Mao Tse Tung (Zedong) sudah tinggal kenangan.
China lebih serius masuk ke pusaran pengendali dunia melalui pengelolaan kapitalisme tingkat akut. Tak seperti Amerika dan Rusia, nafsu imperialis-kolonialis China lebih tersamar melalui dukungan tersembunyi pada Suriah, Iran, dan Indonesia—dengan mengajak mereka ke dalam Blok Selatan. Blok besar yang selama ini luput dan tak bisa diduduki Amerika dan Rusia.
Jadi, wajah dunia seperti yang dulu dikutuki Sukarno, tak pernah berubah sama sekali. Demokrasi, komunis, sosialis, liberalis, hanya utopia semu yang digantang sebagai adicita (ideology). Dunia sama sekali tak membutuhkan adicita itu sebagai panduan kemakmuran-kesejahteraan manusia.
Namun jika ditilik lebih menjeluk, siapakah pemimpin dunia kita yang dengan berani menyuarakan perkara itu selain Hugo Chavez dan Mahmoud Ahmadinejad? Bagaimana dengan presiden Indonesia? Ah, nampaknya kita hanya sedang berenang di air yang keruh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.