Seorang teman yang kebetulan berwajah ganteng nan rupawan pernah mengeluh pada saya betapa cewek-cewek seringkali menudingnya sebagai Pemberi Harapan Palsu (PHP).
“Emang apa yang kamu janjikan pada mereka?” tanya saya.
“Nggak ada sih. Saya cuma mengajak jalan, nonton dan kegiatan-kegiatan lain. Beberapa juga saya perkenalkan kepada teman-teman dan keluarga saya,” jawabnya.
“Lha itu kan memberi harapan seolah-olah kamu sudah memilihnya di antara yang lain?” kata saya.
“Tapi kan saya tidak pernah menyatakan bahwa saya suka sama dia,” balasnya lagi.
“Ya itu namanya PHP. Udah ngajak ke sana ke mari, digandeng-gandeng, tapi enggak dikasih kepastian. Ngasih harapan doang,”kata saya.
“Namanya penjajakan, Bro.. Kan kita musti tahu siapa dia. Enggak harus jadian, kan,” kilahnya
“Kalau masih penjajakan ya jangan dikenalin ke keluarga dulu kaleee,” ujar saya.
Entah itu model penjajakan zaman sekarang, saya tidak tahu. Yang lazim terjadi dahulu, sebelum penjajakan biasanya kami mencari tahu dulu identitas orang yang kita taksir. Rumahnya di mana, siapa bapaknya, sekolahnya, dan lainnya.
Lebih jauh lagi, pada masa yang lebih lampau, orangtua kerap ikut mencari tahu siapa calon-calon yang pantas jadi menantunya. Saya sering mendengar orangtua-orangtua menyarankan anak-anaknya untuk mempertimbangkan dahulu bibit bebet bobot saat mencari pasangan hidup .
Dalam filosofi Jawa, bibit berarti asal-usul, keturunan. Anak siapakah dia, dari mana asalnya, dan siapa saja kerabatnya.
Bebet adalah status sosial, termasuk kedudukan keluarganya di masyarakat, lingkungan hidupnya, siapa teman-temannya dan lainnya.
Sedangkan bobot adalah kualitas seseorang meliputi bagaimana kepribadiannya, pendidikan, pekerjaan, gaya hidup sampai dengan apa yang dimilikinya.
Penyelidikan soal calon pasangan hidup ini mungkin terdengar mengada-ada untuk anak-anak sekarang. Tapi dalam banyak kejadian, pertimbangan tersebut bisa menghindarkan seseorang dari salah pilih pasangan.
Selain menghindarkan diri dari ketidakcocokan, mengetahui dengan pasti siapa calon pendamping juga mencegah menjadikan orang lain kecewa atau merasa diberi harapan palsu.
Bayangkan bila orang itu terlanjur mengorbankan waktu dan tenaganya atau bahkan meninggalkan calon lainnya demi sesuatu yang sia-sia. Duh, sakitnya tuh di siniiiii...
***
Ngomong-ngomong soal PHP dan pilih memilih, hari-hari ini kita mendengar dua berita yang membuat saya terkenang dengan topik itu.
Yang pertama adalah calon anggota Paskibraka Gloria Natapradja Hamel yang batal dikukuhkan karena memiliki paspor Perancis, dan yang kedua Arcandra Tahar yang diberhentikan dari jabatan Menteri ESDM karena memiliki paspor Amerika Serikat.
Bagaimana tidak? Gloria sudah merelakan waktu dan tenaga berlatih keras, berusaha lolos seleksi. Namun di saat terakhir ternyata namanya dicoret. Mengapa tidak dicoret sejak awal? Mengapa diikutkan latihan bersama calon lain bila ternyata dianggap tidak layak? Bagaimana seleksi awalnya?
Baca : Cita-cita Gloria Natapradja, Ingin Mengantarkan Bendera Pusaka ke Tiang Tertinggi
Pupusnya harapan tentunya menyedihkan. Menurut ibunya, Gloria merasa sakit hati dan dipermainkan lantaran digugurkan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016.
Baca: Ibu Gloria: Anak Saya Sakit Hati, Merasa Dipermainkan
Sementara Arcandra konon meninggalkan jabatan dan gaji prestisius di AS karena dipanggil menjadi Menteri. Bahwa kemudian ada syarat yang tak bisa diterima, mengapa baru diketahui sekarang? Tidakkah lembaga negara yang berwenang meneliti asal-usul dan status seorang calon menteri?
"Ke depan, baiknya pengecekan lebih seksama supaya tidak menimbulkan kontroversi yang tidak perlu," kata Faisal.
Baca : Jokowi Copot Menteri ESDM Arcandra Tahar
Saya membayangkan, seandainya status kewarganegaraan Gloria maupun Arcandra diketahui sejak awal, dan dipertimbangkan apakah bisa terus diproses atau tidak, keduanya barangkali tidak perlu menanggung kekecewaan.
Mereka tidak perlu menjadi seperti calon pengantin yang tinggal sehari menuju pelaminan, namun kemudian batal dinikahkan karena ada sesuatu yang dianggap tidak sesuai kriteria calon mertua.
Dalam kasus keduanya, persoalan kewarganegaraan ini bukan salah atau benar, namun memenuhi kriteria atau tidak. Melanggar Undang Undang atau tidak. Bagian itu harusnya telah diseleksi sejak awal.
Lewat dua peristiwa itu, saya menemukan pembenaran dalam filosofi bibit, bebet, bobot. Bukan semata-mata untuk memilih yang terbaik, namun agar kita tidak menjadikan orang lain sebagai korban PHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.