JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi FH UI), Adery Saputoro mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus adil dalam wacana pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
Adery menanggapi komentar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif, yang menilai penuhnya lembaga pemasyarakatan tidak dapat dijadikan alasan untuk mempermudah pemberian remisi bagi koruptor.
Menurut Syarif, mudahnya pemberian remisi dikhawatirkan akan mengurangi efek jera.
Namun, Adery menilai bahwa penjara bukan hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga mengembalikan terpidana ke masyarakat.
"Kalau misalnya dalam waktu sekian tahun dia sudah baik dan sudah bisa dikembalikan ke masyarakat, tidak ada alasan untuk tidak berikan remisi. Pembunuhan berencana saja dapat remisi, padahal yang dihilangkan nyawa," kata Adery saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/8/2016).
Menurut Adery, masalah pemberian remisi berada pada transparansi penilaian pemerintah dalam memberikan remisi. Sehingga ia memaklumi jika KPK menolak pemberian remisi terkait tidak ada transparansi penilaian.
"Kecuali kalau memang pemerintah bisa kasih secara transparan penilaiannya, tidak ada alasan KPK menolak. Karena tidak transparan wajar KPK menolak," ucap Adery.
Menurut Adery, pemberian remisi kepada koruptor dikhawatirkan akan menimbulkan pandangan menyederhanakan hukuman yang diterima koruptor.
Selain itu, ketidakjelasan indikator pemberian remisi, lanjut dia, membuat KPK tidak percaya kepada pemerintah.
"Problem-nya trust. KPK tidak percaya kepada pemerintah untuk penilaian remisi. Di sisi lain KPK harus menyadari juga bahwa di penjara penuh. Jadi titik masalahnya di situ," ujar Adery.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.