Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indikator Tidak Transparan Dinilai Jadi Alasan KPK Tolak Remisi Koruptor

Kompas.com - 15/08/2016, 13:32 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi FH UI), Adery Saputoro mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus adil dalam wacana pemberian remisi bagi terpidana korupsi.

Adery menanggapi komentar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif, yang menilai penuhnya lembaga pemasyarakatan tidak dapat dijadikan alasan untuk mempermudah pemberian remisi bagi koruptor.

Menurut Syarif, mudahnya pemberian remisi dikhawatirkan akan mengurangi efek jera.

Namun, Adery menilai bahwa penjara bukan hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga mengembalikan terpidana ke masyarakat.

"Kalau misalnya dalam waktu sekian tahun dia sudah baik dan sudah bisa dikembalikan ke masyarakat, tidak ada alasan untuk tidak berikan remisi. Pembunuhan berencana saja dapat remisi, padahal yang dihilangkan nyawa," kata Adery saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/8/2016).

Menurut Adery, masalah pemberian remisi berada pada transparansi penilaian pemerintah dalam memberikan remisi. Sehingga ia memaklumi jika KPK menolak pemberian remisi terkait tidak ada transparansi penilaian.

"Kecuali kalau memang pemerintah bisa kasih secara transparan penilaiannya, tidak ada alasan KPK menolak. Karena tidak transparan wajar KPK menolak," ucap Adery.

Menurut Adery, pemberian remisi kepada koruptor dikhawatirkan akan menimbulkan pandangan menyederhanakan hukuman yang diterima koruptor.

Selain itu, ketidakjelasan indikator pemberian remisi, lanjut dia, membuat KPK tidak percaya kepada pemerintah.

"Problem-nya trust. KPK tidak percaya kepada pemerintah untuk penilaian remisi. Di sisi lain KPK harus menyadari juga bahwa di penjara penuh. Jadi titik masalahnya di situ," ujar Adery.

Dikutip dari Kompas, Rabu (10/8/2016), Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan, upaya revisi PP Nomor 99/2012 itu mendesak dilakukan mengingat kondisi LP yang kian padat.

Di sisi lain, pelaksanaan justice collaborator (JC) selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur.

"Status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan," kata dia.

Mengenai napi korupsi, Dusak beranggapan, penegakan hukum terhadap koruptor seharusnya selesai di pengadilan, sebab di sana ada jaksa yang menuntut dan hakim yang memvonis.

Adapun peran LP adalah memasyarakatkan kembali para terhukum. Di sisi lain, beban lapas yang berat karena jumlah napi yang kini mencapai lebih dari 180.000 orang harus segera diatasi.

"Pemudahan remisi dimaksudkan untuk mengurangi beban LP. Sejak adanya PP No 99/2012, sekitar 65.000 napi narkotika tidak bisa mendapatkan remisi. Dalam kondisi semacam ini, pemasyarakatan tidak mampu menampung mereka dengan layak," ujar Dusak.

Kompas TV 3 Koruptor dan 2 Teroris Tak Dapat Remisi Lebaran
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com