Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

pengagum jurnalisme | penikmat sastra | pecandu tawa riang keluarga

Ethnographic Journalism, Ketika Wartawan dan Ilmuwan Menjadi Satu Tubuh

Kompas.com - 13/08/2016, 13:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Sekitar sebelas bulan sebelum tulisan ini dibuat, tepatnya 21 September 2015, sebuah simposium yang tidak biasa berlangsung di Amerika Serikat. Simposium ini tergolong unik karena bertujuan mencari benang merah yang menghubungkan jurnalisme dan kaidah-kaidah penelitian ilmiah.

Tema besar acara itu sungguh menarik: “Ethnography Meets Journalism: Evidence, Ethics and Trust”. Penyelenggaranya adalah Institute for Public Knowledge, sebuah lembaga penelitian di New York University.

Institute for Public Knowledge atau sering disingkat menjadi IPK, melihat gejala bahwa karya-karya jurnalistik dalam bentuk yang panjang dan mendalam (longform journalism) tidak serta merta lenyap ketika internet menjadi wabah.

Dengan kata lain, internet bukanlah habitat asli berita-berita yang serba cepat dan pendek. Longform journalism masih mendapat tempat di era new media saat ini. Kemudian, IPK juga melihat kecenderungan bahwa beberapa karya jurnalistik yang panjang dan mendalam itu dihasilkan melalui proses yang sering dipakai oleh para peneliti, khususnya ilmu-ilmu sosial.

Salah satunya adalah Etnografi. Melalui simposium tersebut, IPK mencoba mempertemukan jurnalisme dan etnografi. Apakah memang ada benang merah di antara keduanya?

Jika memang ada, apakah benang merah itu menjadi penghubung keduanya sehingga bisa saling melengkapi? Atau benang merah tersebut justru menjadi pembatas yang tidak boleh dilewati oleh masing-masing?

Newjack

Salah satu sesi di dalam simposium itu berjudul “Immersion in the Long-Form”. Peserta di dalam sesi ini membahas teknik “melebur” saat meliput atau memroduksi berbagai bentuk karya jurnalistik yang panjang dan mendalam.

Kalangan peneliti ilmu-ilmu sosial juga familiar dengan teknik tersebut. Mereka menyebutnya sebagai teknik observasi sebagai partisipan.

Artinya, si peneliti akan terjun langsung ke lokasi dan melebur (partisipatif) dengan situasi. Melebur bukan hanya menjadi pengamat, akan tetapi benar-benar menjadi bagian dari fenomena yang diteliti.

Jika ia meneliti gelandangan, maka ia akan menjadi gelandangan. Jika meneliti konglomerat, ia harus hidup dalam kemewahan. Beberapa pembicara tampil di dalam sesi itu, salah satunya adalah Ted Conover.

Ia adalah wartawan sekaligus penulis. Salah satu bukunya berjudul Newjack. Di kalangan jurnalis, Newjack adalah sebuah penanda bahwa jurnalisme bisa hadir dalam bentuk yang “renyah” sekaligus mendalam.

Newjack juga sangat naratif atau menggunakan bahasa bertutur. Pada saat yang sama, buku ini penuh dengan empati dan gambaran rinci.

Newjack adalah cerita di balik jeruji besi. Buku ini terbit setelah Ted Conover meliput selama satu tahun di Sing Sing, penjara yang super ketat dan brutal di New York, Amerika Serikat.

Perjalanan liputannya dimulai dengan mendaftarkan diri sebagai sipir di penjara tersebut. Dia ditolak beberapa kali. Namun, akhirnya ia diterima setelah melalui serangkaian proses seleksi.

Ia kemudian melenggang ke dalam penjara dengan menyandang dua status sekaligus, sebagai wartawan dan sipir. Conover menjalani statusnya sebagai sipir secara serius.

Pria yang juga dosen mata kuliah *Ethnography for Journalists* itu harus melalui proses pendidikan, serta menjalani tugas sebagai sipir sesuai perintah atasan.

Pada saat yang sama, ia mencatat dan mengingat segala yang dia temui di penjara. Sesekali dia mengabadikan hal tersebut dalam bentuk foto. Simak laporannya di sini.

Selama “melebur” di dalam penjara, Conover menemukan cerita tentang tahanan yang mengalami gangguan mental. Dia juga larut dalam cerita tentang pergolakan batin para sipir.

Ia kemudian mengalirkan semuanya di dalam Newjack yang ia sebut di dalam blognya sebagai gambaran tentang dunia yang tersembunyi serta konflik antara keharusan untuk mengisolasi manusia (termasuk sipir) dan cara-cara isolasi yang tidak manusiawi.

Menggugat jurnalisme

Sepintas, Newjack mirip dengan indepth reporting atau laporan mendalam. Ia juga sepertinya mirip dengan literary journalism karena gaya penulisannya yang sangat naratif dan bertutur.

Namun, beberapa kalangan termasuk Conover, menyebut Newjack adalah spesies baru di dalam jurnalisme. Salah satu hal yang membuatnya baru adalah pilihan metode meliput.

Anne Kristine Hermann dari University of Southern Denmark menyatakan bahwa Newjack adalah contoh ethnographic journalism. Genre ini menggabungkan semangat jurnalisme dengan metode penelitian etnografi.

Menurut Hermann, salah satu syarat utama etnografi adalah observasi sebagai partisipan. Dalam hal ini, jurnalis tidak hanya “mengamati”, namun harus “merasakan”.

Oleh karena itu, ia harus “menjadi” orang yang dia amati. Teknik “melebur” ini adalah awal dari rangkaian gugatan ethnographic journalism terhadap prinsip-prinsip jurnalisme pada umumnya.

Saya akan mulai dari yang pertama, yaitu gugatan terhadap obyektivitas. Jurnalisme pada umumnya menjadikan obyektivitas sebagai keunggulan.

Menurut paham ini, jurnalis harus memaparkan fakta yang dia peroleh, ia lihat, dan ia dengar secara apa adanya. Konsep ini diruntuhkan oleh metode “melebur” yang dimiliki oleh ethnographic journalism.

Observasi sebagai partisipan di dalam etnografi tidak bertujuan untuk melihat atau mendengar fakta, dan kemudian melaporkannya. Observasi sebagai partisipan bertujuan untuk merasakan dan memahami makna.

Sampai pada titik ini, “fakta obyektif” dalam jurnalisme pada umumnya, digantikan dengan “makna terdalam”.

Crammer dan David (2004), seperti dikutip oleh Hermann di dalam tulisannya, menjelaskan bahwa wartawan etnografi harus mencari “inner truth” dari kelompok tertentu melalui metode meleburkan diri bersama para informan, dan sekaligus menjadi seperti mereka.

Setelah menjadi “orang lain” selama melakukan observasi, seorang wartawan akan bisa merasakan dan menemukan kebenaran dari apa yang dialami oleh pihak yang dia liput.

Setelah itu, dia bisa memberitakan apa adanya, bukan hanya berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar, namun juga berdasarkan apa yang ia rasakan. Di sinilah letak subyektivitas ethnographic journalism yang menggugat prinsip obyektivitas jurnalisme pada umumnya.

Gugatan terhadap obyektivitas ini membawa kita kepada gugatan kedua, yaitu gugatan terhadap sudut pemberitaan (angle). Pada umumnya, jurnalisme tidak pernah lepas dari sudut pemberitaan.

Bahkan, kadang kala, wartawan seperti sudah “membuat” berita sebelum ia berangkat meliput. Observasi dan wawancara “sekedar” menjadi cara untuk mengonfirmasi arah pemberitaan yang telah dirancang sebelumnya.

Etnografi menentang hal itu, demikian Hermann menulis di dalam artikelnya. Oleh karena itu, seorang wartawan yang mengadopsi metode etnografi tidak akan memiliki sudut berita apapun ketika berangkat meliput.

Ia mendatangi, mengamati, dan menjadi seperti narasumber karena ia benar-benar ingin tahu. Ketiadaan sudut pemberitaan itu akan dengan sendirinya menghilangkan sikap curiga (skeptis) yang menjadi ciri khas wartawan.

Ini adalah gugatan ketiga ethnographic journalism. Sebagai gantinya, sifat “skeptis” itu diganti dengan “empati”.

Artinya, seorang wartawan etnografi akan menemui narasumber tidak untuk mengonfirmasi kecurigaan atau sudut pemberitaan, melainkan untuk berempati dan merasakan. Kata kunci “empati” ini akan mengarahkan wartawan-wartawan etnografi kepada liputan-liputan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Ketiga gugatan di atas (ketiadaan obyektivitas, sudut pemberitaan, dan skeptisisme) akan memunculkan gugatan keempat, yaitu jangka waktu liputan yang sangat lama.

Hal itu terlihat dari kisah Ted Conover yang memerlukan waktu hingga satu tahun untuk bisa benar-benar merasakan hidup sebagai seorang sipir penjara dan menemukan kebenaran di dalamnya.

Ethnographic journalism memang menawarkan sentuhan baru bagi para wartawan. Namun, yang namanya sentuhan tidak selalu menyenangkan.

Sentuhan kadang dianggap sebagai pelecehan. Tidak ada yang bisa menyalahkan jika kalangan jurnalis merasa terlecehkan oleh gugatan yang dibawa oleh ethnographic journalism.

Mereka yang percaya bahwa jurnalisme harus memiliki angle, bersifat obyektif, singkat, dan cepat, tentu akan menolak ethnographic journalism. Namun, pada saat yang sama, tidak ada yang juga bisa menyalahkan mereka yang mencoba memberikan kesempatan bagi genre baru di dalam jurnalisme ini.

Siapa tahu, ethnographic journalism adalah solusi untuk mengganti jurnalisme yang penuh kepentingan dan jurnalisme dangkal karena hanya menuruti rutinitas isu secara tergesa-gesa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan 'Cawe-cawe' Pj Kepala Daerah

Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan "Cawe-cawe" Pj Kepala Daerah

Nasional
Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Nasional
Yusril Harap 'Amicus Curiae' Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Yusril Harap "Amicus Curiae" Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Nasional
Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Nasional
IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

Nasional
Yusril Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Yusril Sebut "Amicus Curiae" Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com