JAKARTA, KOMPAS.com - Pasca-peristiwa penyerangan dan perusakan rumah ibadah di Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pemantauan dan penyelidikan ke lokasi kejadian.
Ini dilakukan Komnas HAM guna menggali data, fakta dan informasi yang akurat. Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta bahwa aparat kepolisian melakukan beberapa kelalaian dalam peristiwa kerusuhan di Tanjungbalai.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan bahwa saat terjadi kerusuhan kepolisian tidak siap siaga dalam mengantisipasi kerusuhan massa dan belum mampu mengorganisir kekuatan internal aparat keamanan.
"Pihak kepolisian saat itu tidak mampu mengendalikan amuk massa yang terjadi," ujar Natalius Pigai saat memberikan keterangan di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2016).
Pigai menilai aparat lamban mengantisipasi kerusuhan sehingga menyebabkan kerusakan 15 bangunan yang terdiri dari rumah ibadah dan rumah pribadi.
Aparat keamanan, kata Pigai, baru tiba di lokasi kerusuhan sekitar 1 sampai 2 jam setelah aksi perusakan.
Selain itu, menurut dia, intelijen pun tidak mampu melakukan deteksi dini adanya potensi konflik SARA selama sekitar satu minggu sejak penyampaian keberatan seorang warga, yang disinyalir menjadi penyebab konflik.
Sehingga, kemudian terjadi peristiwa perusakan dan pembakaran rumah ibadah dan rumah warga.
"Pemerintah punya kemampuan untuk memutus rantai komunikasi yang isinya berupa ujaran kebencian dengan alat-alat canggih yang dimiliki," tuturnya.
Pigai menjelaskan sekitar seminggu sebelum kejadian, seorang warga Tanjung Balai, Meliana, menyampaikan keberatan mengenai suara adzan dari Masjid Al-Makshum kepada tetangganya.
Keberatan itu pun disampaikan kepada Kasidi, seorang nadzir atau penajaga Masjid Al-Makshum dengan harapan bisa disampaikan ke pengurus masjid.
Pada 29 Juli 2016, Kasidi menyampaikan keberatan Meliana kepada pengurus masjid. Beberapa pengurus masjid pun mendatangi rumah Meliana untuk berdialog dan mengonfirmasi keberatan Meliana.
Natalius Pigai mengungkapkan, sempat terjadi perdebatan dalam dialog tersebut. Dialog dan mediasi akhirnya dilanjutkan di kantor Kelurahan Tanjung Balai.
Hasil dari dialog, Meliana meminta maaf atas keberatan yang dia sampaikan.
"Namun isu yang beredar saat itu bahwa ada warga etnis Tionghoa yang melarang adzan dan mematikan speaker masjid," ucap Pigai.
Menurut dia, keberatan yang disampaikan oleh Meliana tidak dimaksudkan untuk menyebar kebencian etnis dan agama.
Apa yang disampaikan oleh Meliana, kata Pigai, merupakan kata-kata yang tidak memiliki tendensi negatif dan tidak didasarkan pada rasa kebencian terhadap agama tertentu.
Kerusuhan tersebut terjadi karena ada isu yang sengaja disebar oleh oknum tertentu untuk menciptakan konflik.
"Keberatan Meliana tidak bertendensi negatif serta tidak didasarkan pada rasa kebencian," kata Pigai.
(Baca: Komnas HAM: Distorsi Informasi Sebabkan Kerusuhan Tanjungbalai)
Akibat dari distorsi informasi tersebut, sekitar pukul 23.00 - 03.00 WIB massa yang berkumpul di sekitar rumah Meliana melampiaskan kemarahan dengan melakukan penyerangan, perusakan dan pembakaran terhadap rumah Meliana dan rumah ibadah.
Akibatnya ada sekitar 15 bangunan yang mengalami perusakan dan pembakaran, terdiri dari Wihara, Klenteng, bangunan yayasan dan rumah pribadi.
(Baca juga: Perlu Tindakan Konkret Penyelesaian Kerusuhan Tanjungbalai)
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sebelumnya menyatakan bahwa kerusuhan massa di Tanjungbalai, Sumatera Utara diduga berlatar belakang persoalan individu dalam kehidupan bertetangga.
Guna mencegah dan langkah antisipasi agar bentrokan tidak meluas, Kapolri bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka agama bertempat di Markas Polda Sumatera Utara.
(Baca: Kapolri: Kerusuhan di Tanjungbalai Dipicu Persoalan Individu)