JAKARTA, KOMPAS.com — Cerita pemberantasan terorisme tak melulu menyisakan ketakutan dan kekhawatiran. Bagi Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, pemberantasan terorisme justru menyisakan sekelumit kisah yang mengundang canda.
Beberapa kisah itu dia sampaikan dalam sebuah diskusi bertajuk konflik keagamaan di kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), di Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Awalnya, Tito berkisah tentang proses penangkapan sekelompok teroris di Bogor. Saat itu turun hujan dan pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror tengah mengejar kelompok teroris di Bogor.
Saat itu, dua teroris yang diburu hendak melakukan pengeboman dan sudah bersiap dengan bomnya. Namun, saat ditangkap, petugas Densus 88 berhasil mengamankan bom yang mereka bawa sehingga gagal meledak.
Tito menuturkan, sesuai standard operating procedure (SOP) maka keduanya pun langsung diborgol dan senjata mereka pun dilucuti. Selang beberapa saat ternyata kedua teroris itu menangis.
Tak ayal, petugas Densus yang membawa mereka heran. Hal itu disampaikan oleh petugas Densus 88 kepada Tito.
Saat itu, Tito masih belum menjabat sebagai Kapolri, dirinya masih mengepalai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Tito pun mendatangi keduanya lantas bertanya mengapa mereka menangis.
Kedua teroris itu menjawab, mereka menyesal karena bom yang mereka bawa tak sempat meledak sehingga tak bisa mencelakai aparat.
"Jadi dalam pandangan mereka membunuh aparat dengan meledakkan bom yang mereka kenakan sampai mereka ikutan mati itu hitungannya mati syahid," kata Tito.
"Lantas saya bilang saja ke mereka supaya bunuh diri saja sekarang biar mati syahid karena kan hitungannya gagal, tapi saat menjalankan tugas. Mereka sembari menangis bilang ke saya, 'Kalau itu malah masuk neraka, Pak'," ujar Tito dan langsung disambut tawa peserta diskusi.
Mengalami kejadian itu, Tito mengaku heran. Menurut dia, bagaimana bisa seseorang mengatakan tindakan bunuh diri adalah perbuatan dosa, sedangkan dia juga membunuh manusia lain.
Selain itu, Tito berkisah saat dia mewawancarai pelaku pengeboman Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta.
Waktu Tito ditanya oleh si pelaku apakah dia akan mati atau tidak. Tito menjawab dengan mantap bahwa dirinya pasti akan mati.
Lantas si pelaku bertanya kembali lebih penting mati pada usia tua atau mati dalam keadaan suci. Tito pun menjawab lebih baik mati dalam keadaan suci.
"Lalu dia bilang makanya dia melakukan amaliyah dengan mengebom supaya mati dalam keadaan suci dan tak perlu menunggu usia tua. Saya jelas tidak terima dan mendebat dia," kata Tito.
"Akhirnya kami saling ngotot dan repotnya dia mengeluarkan banyak ayat dari kitab suci. Sayang, saya tidak menguasai banyak ayat. Kalau saya hafal banyak ayat pasti bisa mengimbangi," lanjut Tito.