Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Penyederhanaan Parpol

Kompas.com - 04/08/2016, 09:45 WIB

Oleh: Moch Nurhasim

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) kembali menjadi tema hangat dalam pembahasaan RUU Pemilu Serentak. Berawal dari pernyataan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh yang mengusulkan agar ambang batas parlemen naik menjadi 7 persen berhasil ”menyengat” elite-elite parpol lain.

Sejumlah elite partai lainnya tidak mau kalah. Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, mengusulkan 9 persen. Politisi Partai Golkar, Tantowi Yahya, mengusulkan 10 persen.

Namun, beberapa elite partai lain menilai kenaikan drastis ambang batas dianggap tidak realistis, bahkan disebut terlalu percaya diri. Partai Gerinda justru bersikap berbeda, menilai ambang batas saat ini adalah ambang batas yang relatif sudah tepat.

Secara teoretik pemberlakuan ambang batas parlemen hanyalah salah satu jalan untuk menyederhanakan partai politik akibat kombinasi yang kompleks antara sistem proporsional-multipartai ekstrem.

Multipartai ekstrem ditandai dengan jumlah partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen lebih dari lima partai.

Sartori membedakan lima sistem kepartaian, antara lain: sistem partai tunggal, terdapat satu partai relevan; sistem dua-partai, terdapat dua partai yang relevan; sistem pluralisme moderat, terdapat 3-5 partai yang relevan; dan sistem pluralisme ekstrem, terdapat lebih dari 5 partai yang relevan.
Dari pengalaman sejumlah negara, termasuk Indonesia, rata-rata pemilu proporsional-multipartai sulit menghasilkan partai pemenang mayoritas.

Alih-alih dapat mendorong pluralisme moderat, hasil pemilunya justru menghasilkan pluralisme ekstrem dengan partai pemenang minoritas. Suara pemilu menjadi tersebar-sebar hampir ”merata”.

Menurut Jean Blondel, sistem multipartai dapat menghasilkan dominasi partai (mayoritas pemenang) apabila ada partai yang menguasai lebih kurang 45 persen suara di parlemen, sementara jika perolehan suaranya hanya 25 persen dan/atau di bawahnya, sistem proporsional-multipartai akan menghasilkan partai minoritas.

Sebaran kursi akhirnya menyulitkan partai pemenang pemilu dalam membentuk pemerintahan yang kuat.

Akibatnya, pemilu gagal melahirkan satu kekuatan mayoritas yang berfungsi sebagai instalasi demokrasi sebuah proses pembentukan lembaga-lembaga demokrasi yang memperkuat sistem presidensial dan mendorong pemerintahan yang bekerja (governable).

Jalan pintas atau sistemik

Untuk mengatasi problematik sistem proporsional-multipartai yang dapat mendorong terciptanya pluralisme moderat, ada banyak alternatif yang dapat didiskusikan.

Penerapan ambang batas acapkali menjadi alternatif yang paling mudah dan sering menjadi pilihan elite politik.

Matematika pemilunya menjadi mudah, dengan data perolehan Pemilu 2014, apabila ambang batasnya 5 persen, akan ada 8-10 partai di DPR. Sementara kalau ambang batasnya 7 persen, partai yang berhak duduk di DPR 5-7 partai.

Selain lebih mudah, ambang batas parlemen yang tinggi juga mendorong partai-partai politik tidak ”tidur panjang”, hanya bekerja pada saat menjelang pemilu.

Partai sebagai organisasi yang penting dalam demokrasi diharapkan memiliki kinerja elektoral yang berkesinambungan, melakukan penataan organisasi, dan memiliki sistem kerja yang lebih baik.

Karena itu, hanya partai-partai yang siap dan memiliki performa organisasi yang memadai yang kemungkinan besar dapat lolos parliamentary threshold.

Walau memiliki banyak keuntungan, secara teoretik ambang batas parlemen merupakan jalan pintas yang dapat merusak prinsip dasar sistem proporsional itu sendiri.

Kenapa merusak? Karena dapat menciptakan disproporsionalitas sistem proporsional menjadi semi-proporsional akibat banyaknya suara yang terbuang.

Suara yang terbuang juga fantastik, pada Pemilu 2004 sebanyak 5,2 juta suara, Pemilu 2009 sebesar 19 juta suara, dan lebih dari 2,2 juta suara pada Pemilu 2014. Besarnya suara pemilih yang terbuang bertentangan dengan ide dasar pemilu proporsional.

Rusaknya sistem proporsional ini telah diingatkan Gallagher yang menyebut bahwa peningkatan besaran ambang batas berkolerasi positif terhadap peningkatan disproporsionalitas hasil pemilu (Lijphart: 199, 153).

Formula Gallagher menyebut bahwa semakin hasil pemilu disproporsional, sistem proporsional akan berubah menjadi sistem semi-proporsional dan tingkat keterwakilan sebagai kelebihan sistem proporsional menjadi rendah.

Persoalannya, apakah ada formula lain selain ambang batas untuk menjadi resep agar sistem proporsional-multipartai menghasilkan pluralisme moderat secara sistemik bukan jalan pintas. Atau bekerjanya sistem proporsional tidak terganggu dan berubah menjadi sistem lain?

Para ahli kepemiluan telah memberikan beberapa alternatif untuk meredesain sistem proporsional agar terjadi penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa merusak sistem.

Yang dimaksud alamiah adalah penyederhanaan partai bukan hasil bypass rekayasa, melainkan lahir dari bekerjanya sistem pemilu.

Minimal ada sejumlah formula yang dapat menjadi solusi. Pertama, mendesain ulang besaran daerah pemilihan (district magnitude).

Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memformulasi ulang jumlah wakil yang akan dipilih dari satu daerah pemilihan. Besar kecilnya daerah pemilihan akan berkolerasi dengan jumlah alokasi kursi yang akan diperebutkan pada suatu daerah pemilihan.

Daerah pemilihan dapat dikelompokkan minimal tiga jenis, besaran di atas 10 kursi, besaran sedang (6-10 kursi) dan besaran kecil (2-5 kursi). Penataan besaran pemilihan terkait dengan upaya untuk mendorong lahirnya multipartai moderat.

Semakin besar besaran daerah pemilihan yang diterapkan sulit bagi sistem proporsional untuk dapat menyederhanakan partai secara alamiah.

Oleh karena itu, pilihannya adalah menerapkan besaran yang kecil (3-6) apabila keinginan penyederhanaan partai menjadi target pemilu di Indonesia.

Formula kedua yang dapat diterapkan adalah menata ulang cara konversi kursi, dari yang bersifat kuota murni dengan rumus bilangan pembagi pemilih (BPP). Mengapa formula BPP perlu diubah? Ada beberapa alasan.

Pertama, BPP merupakan formula konversi kursi yang justru menciptakan divergensi, bukan konvergensi politik, karena BPP akan menciptakan banyaknya partai yang memperoleh kursi.

Upaya Partai Golkar menerapkan formula divisor Saint League sebenarnya sudah ”tepat” pada saat pembahasan RUU Pemilu 2014 yang lalu.

Sayangnya, formula ini ditolak mentah-mentah oleh partai politik yang lain. Padahal, formula divisor adalah rumus konversi suara partai menjadi kursi partai yang relatif paling tepat apabila tujuannya ingin menyederhanakan partai melalui mekanisme dan proses sistem pemilu.

Ketiga, meninjau ulang tata cara pembagian kuota kursi di setiap daerah pemilihan. Penentuan kuota kursi provinsi yang selama ini menjadi lampiran UU Pemilu yang ditetapkan secara arbiter oleh DPR cenderung salah kaprah.

Selain karena prinsip pembagiannya yang tidak adil atau tidak setara, juga menyebabkan ketidakadilan karena ada provinsi yang jumlah penduduknya besar, tetapi tak imbang dengan kursi yang akan mewakilinya.

Keempat, penyederhanaan partai secara alamiah juga dapat dimulai pada saat penetapan partai sebagai peserta pemilu.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperberat persyaratan agar proses pemilu tidak diikuti aktor (peserta pemilu) yang jumlahnya tak terbatas.

Konsistensi penerapan syarat yang ketat bagi peserta pemilu menjadi pintu awal apakah pemilu akan diikuti banyak partai atau sedikit partai.

Dalam konteks Pemilu Serentak 2019, pengetatan syarat peserta pemilu dibutuhkan karenapartai politik yang lolos sebagai peserta pemilu sekaligus memiliki tiket untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden.

Keberanian politik

Upaya penyederhanaan partai politik di Indonesia bergantung pada keberanian politik pimpinan partai-partai politik.

Pilihan menata sistem proporsional yang menghasilkan multipartai moderat bergantung pada formula perubahan seperti apa yang mereka sepakati.

Idealnya penataan sistem proporsional-multipartai tidak hanya bersifat tambal sulam, tetapi juga jauh lebih mendasar menukik ke akar masalahnya.

Dari praktik pemilu di era reformasi sudah tampak jelas akar masalahnya adalah kesalahan beberapa formula sistem yang dipilih, seperti konversi kuota kursi ke provinsi, besaran daerah pemilihan, dan rumus konversi suara partai menjadi kursi yang justru menjauhkan dari gagasan awal menyederhanakan partai politik.

Kita semua masih ingat sengitnya pembahasan RUU Pemilu 2004 yang lalu. Sejumlah formula yang ditawarkan para akademisi dan pegiat pemilu untuk memperbaiki sistem proporsional-multipartai justru kandas oleh kepentingan sesaat partai politik.

Partai lebih takut tidak memperoleh kursi. Akibatnya, reformasi sistem pemilu berakar pada kepentingan partai, bukan berdasar pada kepentingan untuk membangun visi kebangsaan dan demokrasi yang lebih baik.

Kita semua berharap ada terobosan dan keberanian politik. Jangan sampai sengatan Ketua Umum Partai Nasdem hanya hangat tai ayam, dan kempes oleh konsensus kepentingan politik sesaat yang akan merugikan masa depan demokrasi kita lima tahun mendatang.

Moch Nurhasim, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Nasional
Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Nasional
Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Nasional
Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Nasional
Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Nasional
KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

Nasional
Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Nasional
Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Nasional
Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Nasional
Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Nasional
Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Nasional
Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Nasional
Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Nasional
KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com