Koalisi itu disebut solid, menurut anggapan ini, apabila semua anggotanya 100 persen selalu bersama dan sepakat dalam semua isu dan kebijakan pemerintahan.
Anggapan semacam ini lebih banyak dipengaruhi oleh model koalisi dalam sistem parlementer yang memang mensyaratkan kebersamaan 100 persen.
Dalam koalisi parlementer, kalau ada anggota yang membelot, sekalipun hanya dalam beberapa isu kebijakan, pembelotan itu dapat mengancam jatuhnya pemerintahan.
Sementara dalam sistem presidensial, adanya anggota koalisi yang berbeda sikap atau kebijakan dengan presiden tidak akan membuat pemerintahan jatuh.
Paling-paling situasi tersebut menimbulkan kegaduhan dengan risiko kebijakan tersebut tidak lolos di lembaga legislatif.
Kalau kita ambil contoh soliditas koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka menggambarkannya sebagai koalisi yang tidak solid tidaklah sepenuhnya akurat. Hanya ada beberapa momen yang menunjukkan koalisi tidak solid.
Kasus Bank Century dan kebijakan kenaikan harga BBM, misalnya, adalah contoh ketika sejumlah anggota koalisi berbeda sikap dan kebijakan. Namun, dalam sebagian besar isu yang lain, koalisi tersebut selalu bersama-sama.
Dengan kata lain, kita masih bisa mengatakan bahwa, bahkan di era SBY-pun, koalisi sebetulnya relatif solid. Jadi, koalisi Jokowi juga harus kita nilai relatif solid apabila sekitar 80 persen mereka selalu bersama.
Makna kedua yang terkait dengan koalisi efektif adalah kinerja. Ini terdiri atas dua hal. Pertama, seberapa banyak kebijakan pemerintahan yang lolos di DPR dan berapa banyak yang gagal.
Contoh terpenting dalam hal ini adalah adakah kejadian di mana Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tidak mendapatkan pengesahan DPR sehingga pemerintah sulit bekerja karena harus menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Kalau kita lihat selama hampir dua tahun pemerintahan Jokowi, semua RAPBN berhasil disahkan, padahal koalisinya masih belum sekuat sekarang.
Demikian juga dengan usulan kebijakan penting lain sekalipun kontroversial, seperti kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty).
Kebijakan ini pun sudah lolos di DPR sebelum koalisi besar sekarang resmi terbentuk. Kalau melihat contoh-contoh ini, kita boleh berharap bahwa koalisi Jokowi ke depan akan efektif.
Hal kedua terkait kinerja adalah pencapaian target agenda pemerintahan. Pemerintahan Jokowi, misalnya, menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen selama pemerintahan.