Oleh: Djayadi Hanan
Resmi sudah koalisi Jokowi. Perombakan kabinet jilid II menjadi penandanya. Dari berbagai aspek, koalisi Jokowi adalah koalisi besar. Tujuh dari sepuluh partai di DPR bergabung di dalamnya.
Komposisinya terdiri atas 386 kursi alias sekitar 69 persen dari total 560 kursi yang ada di DPR. Kabinet, yang mencerminkan koalisi tersebut di eksekutif, mewakili bukan hanya partai, juga kelompok lain, seperti organisasi keagamaan, simbol wakil daerah, wakil perempuan, dan lain-lain.
Koalisi Jokowi, baik di DPR maupun di kabinet, tampaknya ingin memastikan dukungan politik yang stabil sekaligus dukungan publik yang luas.
Dukungan ini diharapkan menjadi penopang bagi percepatan gerak ekonomi dan pembangunan yang memang menjadi kebutuhan mendesak bangsa kita saat ini.
Pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang kemudian adalah: efektifkah koalisi besar ini?
Pertanyaan yang sangat wajar muncul karena koalisi dengan ukuran yang mirip sudah pernah kita alami selama 10 tahun pemerintahan presiden sebelumnya.
Banyak pihak mengeluh karena menganggap koalisi besar sebelumnya tidak efektif. Banyak kegaduhan muncul dan menguras energi.
Namun, dengan asumsi bahwa presiden memegang posisi memimpin dalam koalisi, memiliki fokus dan agenda pemerintahan yang jelas, memiliki ketegasan dalam hubungannya dengan partai-partai, serta memiliki dukungan publik yang luas, maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah positif. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, koalisi besar ini akan efektif.
Makna koalisi efektif
Ada dua makna yang terkait erat dengan koalisi yang efektif: soliditas dan kinerja. Agar efektif mencapai tujuannya, koalisi harus solid.
Dalam koalisi politik, soliditas sebuah koalisi haruslah dimaknai secara relatif. Ini berarti soliditas tidak dapat dimaknai sebagai kebersamaan semua anggota koalisi secara 100 persen dalam semua masalah dan kebijakan pemerintahan.
Jadi, adanya momen-momen tertentu di mana ada anggota koalisi membelot belum tentu bermakna koalisi tidak efektif.
Kalau, misalnya, pembelotan anggota koalisi hanya terjadi sekitar 20 persen saja selama satu periode pemerintahan dan pembelotan itu tidak menimbulkan masalah serius, maka koalisi tersebut masih dapat dikatakan relatif solid.
Memang ada anggapan yang kurang realistis di kalangan masyarakat umum dan bahkan sejumlah pengamat dan ahli.