JAKARTA, KOMPAS.com - Dari 14 terpidana mati yang direncanakan akan dieksekusi, akhirnya 4 orang yang benar-benar dieksekusi pada Jumat (29/7/2016) dini hari. Sementara 10 terpidana mati lainnya masih menunggu kejelasan eksekusi dari pihak Kejaksaan.
Salah satu terpidana mati yang ditunda eksekusinya yakni seorang buruh migran bernama Merry Utami. Eksekusi mati terhadap Merry menjadi perhatian sejumlah aktivis karena dia diduga hanyalah korban perdagangan manusia.
Kehidupan Merry tidak jauh berbeda dengan kenyataan sehari-hari yang dialami para perempuan buruh migran.
Merry merupakan korban kemiskinan, migrasi paksa, perdagangan manusia, dan sindikat narkoba yang memanfaatkan ketidakberdayaan para perempuan desa untuk kepentingan bisnis mereka.
Komnas Perempuan menyebut Merry terindikasi korban perdagangan orang. Tim kuasa hukum Merry dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Antonius Badar menuturkan bahwa Merry Utami bukanlah pelaku kejahatan dan tidak sepatutnya dihukum mati.
(Baca: Terpidana Mati Merry Utami Kirim Surat ke Jokowi, Ini Isinya..)
Awal keterlibatan Merry dengan sindikat narkoba bermula dari pertemuannya dengan Jerry, anggota sindikat narkoba, yang mengaku warga negara Kanada dan sedang berbisnis di Indonesia.
Merry baru saja kembali bekerja dari Taiwan. Jerry bersikap sangat baik dan perhatian. Dia sempat melarang Merry bekerja lagi ke luar negeri dan berjanji akan menikahinya.
Dari pertemuan itu akhirnya Merry jatuh hati kepada Jerry dan memutuskan untuk berpacaran Tanggal 17 Oktober 2001 Jerry mengajak Merry berlibur ke Nepal.
Tanggal 20 Oktober 2001, Jerry pamit kembali ke Jakarta untuk mengurusi bisnisnya dan Merry diminta menunggu temannya yang akan menyerahkan titipan berupa tas tangan contoh dagangan.
Dua orang bernama Muhammad dan Badru menemuinya dan menyerahkan tas tangan.
(Baca: Lilin Suster Laurentina untuk Merry Utami Yang Akan Dieksekusi Mati)
"Merry sempat curiga kenapa tas tersebut berat dan Jerry menjawab karena tas kulit bagus dan bahan kuat," tutur Badar saat ditemui di Jakarta, Kamis (28/7/2016).
Tanggal 31 Oktober 2001, Merry terbang ke Jakarta dan tas tangan ditaruh di kabin pesawat. Saat di Bandara Soekarno Hatta, koper dan tas tangan diperiksa di mesin X-Ray.
Petugas bandara memeriksa tas tangan dan menemukan narkoba jenis heroin seberat 1,1 kg di dinding tas. Seketika Merry ditangkap.
"Merry sempat menghubungi Jerry dan kedua temannya, tapi ponsel mereka sudah tidak aktif. Sejak itu Jerry menghilang," kata Badar.
Merry dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tingkat Pertama pada tahun 2002. Merry sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali (PK) pada 2014, tetapi ditolak.
(Baca: Terpidana Mati Merry Utami Tempati Sel Isolasi di Nusakambangan)
Merry diberitahu akan diikutkan dalam hukuman mati gelombang ketiga tahun 2016.
Badar juga mengungkapkan, dari beberapa kasus terpidana mati yang ditangani oleh LBH Masyarakat, masih ditemukan kelemahan dalam proses penanganan perkaranya. Tidak terkecuali dalam kasus Merry.
Merry mengalami kekerasan oleh petugas kepolisian saat pemeriksaan, mulai dipukul berkali-kali hingga dilecehkan. Kata Badar, Merry sempat dipaksa mengakui bahwa heroin tersebut miliknya.
Pengacara yang ditunjuk membantunya juga ikut memaksanya untuk mengaku bersalah dan hanya datang saat sidang saja. Badar juga menyebut dalam putusan pengadilan, hakim tidak bisa membuktikan bahwa kedua orang tersebut adalah pengedar.
Selain itu, Badar mengungkapkan banyak terpidana hukuman mati yang tidak dipenuhi haknya seperti pendampingan oleh pengacara saat diperiksa.
"Di persidangan tidak pernah ada bukti cukup yang menunjukkan Merri sebagai pengedar. Selain itu banyak terpidana mati yang tidak didampingi pengacara saat diperiksa," ungkap dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.