JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menegaskan, eksekusi mati perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati.
Oleh karena itu, selama sudah diputus pengadilan dan grasi telah ditolak, eksekusi dapat dijalankan.
Pernyataan Presiden tersebut diungkapkan kepada Kompas saat ditanya mengenai posisi pemerintah terkait hukuman mati, Senin (25/7), di Jakarta.
"Jika pengadilan telah memutuskan dan sudah ada upaya hukum yang dilalui, untuk memberi kepastian hukum, itu harus dilaksanakan," kata Presiden.
Kejaksaan Agung dalam waktu dekat akan melaksanakan eksekusi tahap III untuk terpidana mati kasus narkoba.
Enam terpidana mati telah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sejak April lalu. Selama ini, Nusakambangan menjadi tempat eksekusi.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, Presiden tak dapat mengintervensi putusan pengadilan soal hukuman mati.
Mengenai apakah eksekusi dilaksanakan atau tidak, Johan mengatakan, hukuman mati baru tidak bisa diterapkan jika sudah tidak tercantum dalam hukum positif Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman meminta pemerintah tidak mengobral eksekusi mati, apalagi memanfaatkannya untuk membangun popularitas politik atau menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah memiliki sikap yang tegas.
"Hukuman mati memang bagian dari sistem hukum nasional. Namun, Presiden sebagai simbol nurani bangsa, dengan kewenangan yang dimilikinya, haruslah selektif," ujar Benny.
Ia pun meminta pemerintah selektif dalam mengeksekusi sebab bukan tak mungkin ada kesalahan dalam menghukum seseorang.
Benny dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, bahkan mendorong Presiden agar membentuk tim khusus menyelidiki kembali vonis-vonis hukuman mati.
Sejak kemarin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) memberlakukan larangan berkunjung bagi pembesuk narapidana di semua LP di Nusakambangan.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Jateng Molyanto mengatakan, larangan berkunjung itu ditetapkan hingga batas waktu yang belum ditentukan.
"Seluruh LP di Nusakambangan tidak boleh dikunjungi terkait dengan hal khusus," ujarnya tanpa merinci hal khusus yang dimaksud.