Waktu itu saya bertanya pada petugas loket, bagaimana saya harus parkir dan tiketnya seperti apa? Jawabannya, “Masuk aja, Pak. Sepeda gratis.”
Maka saya memarkir sepeda di tempat biasanya dengan gembok rantai mengikat sepeda dengan pagar besi stasiun. Tidak ada karcis, tidak ada bukti apapun. Namun demi kepantasan karena boleh menitipkan sepeda, saya memberi petugas itu uang.
Celakanya, saat sepeda hilang, tidak ada yang maju untuk bertanggung jawab. Soal ini saya maklum, karena memang secara resmi tidak ada parkiran sepeda. Mau mengadu ke siapa? Parkir tanpa tiket barangkali bisa disebut parkir gelap, walau membayar ke orang tertentu.
Walau kehilangan sepeda, toh saya tidak kapok bersepeda ke stasiun. Maklum, kegiatan itu memang didasari niat mulia mengurangi kemacetan dan mengikis lemak-lemak yang memenuhi perut.
Belajar dari pengalaman, saya sampaikan ke petugas yang sama bahwa saya titip sepeda. Karena pernah kecolongan, saya juga tanyakan dengan jelas di mana sebaiknya saya sandarkan sepeda. Saya pun membeli gembok yang lebih kuat, seraya berharap semoga segera ada parkir sepeda resmi.
Namun kejadian dua minggu lalu membuat lutut saya gemetar, mata terbelalak dan mulut menganga. Again? Saya sebagai pengguna sepeda benar-benar merasa ditinggalkan. Apalagi saya (merasa) menggunakannya dalam rangka mengikuti anjuran dan membantu program pemerintah.
Mengapa untuk yang jelas-jelas mengurangi kemacetan dan polusi justru tidak disediakan sarana yang memadai?
Menurut bisik-bisik sumber di PT Reska, menerima parkir sepeda memang tak gampang. Selain harus menyediakan tempat, yang artinya mengurangi tempat parkir motor, juga belum ada kesepakatan soal asuransinya. "Harga sepeda kan bervariasi," kata sumber itu.
Bagaimanapun saya tetap kecewa. Tapi setelah saya renungkan, ternyata saya dan para pesepeda tak sendiri. Ada juga alat transportasi lain, bajaj, yang pernah dipakai untuk kampanye, namun sempat dikabarkan tak boleh melintas di depan istana.
Baca: Dianggap Memalukan, Bajaj Dilarang Lewati Jalan di Depan Istana Merdeka
Dua-duanya pernah menjadi saksi mengantarkan para calon menjadi penguasa. Nasib bajaj barangkali lebih mengenaskan karena alasan pelarangannya adalah wajahnya yang buruk, alias dianggap tidak pantas, sehingga tak boleh melintas.
Sepeda dan bajaj memang tak seberapa, nilainya jauh, amat jauh dibanding uang para miliarder yang disimpan di luar negeri yang akan diampuni pajaknya bila dibawa kembali ke negeri ini. Jadi jelas wajar kalau perhatian lebih tercurah ke tax amnesty dibanding remeh temeh begini.
Walau begitu, baik bila ada solusi yang membuat kaum jelata tak merasa dipandang sebelah mata. Membuat parkiran sepeda misalnya... hehehehe... Tetep...
Saya jadi teringat cerita tentang seorang prajurit Amerika Serikat bernama Sersan Bowe Bergdahl yang ditangkap Taliban di Afganistan ketika ia meninggalkan posnya tahun 2009.
Untuk membebaskan Sersan Bergdahl, AS terpaksa menukarnya dengan lima anggota Taliban yang ditahan di penjara Guantanamo, Kuba.
Banyak orang mempertanyakan keputusan itu dan berkata apakah Amerika harus mengorbankan banyak tenaga dan usaha untuk menyelamatkan seseorang yang meninggalkan tugasnya sampai ditangkap musuh. Yang lain mempertimbangkan apakah satu orang ditukar lima tahanan itu sebanding.
Namun jawaban militer, melalui Presiden Obama dan Menteri Pertahanan Chuck Hagel jelas dan tegas: No man left behind. Amerika tidak akan meninggalkan prajuritnya.
Ah, semoga para penguasa di Indonesia juga tidak meninggalkan mereka yang pernah membantunya, meski mereka bukan orang berpunya, tapi hanya rakyat biasa, kelas bajaj maupun sepeda…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.