Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/07/2016, 14:45 WIB
|
EditorSabrina Asril

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan negosiator sandera, Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Joshua Mamoto berpendapat bahwa rencana pemerintah menghentikan pengiriman batubara ke Filipina harus dikaji ulang.

"Yang model-model bargaining seperti itu perlu dikaji mendalam lagi," ujar Benny saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/7/2016).

Benny sempat terlibat sebagai juru runding upaya pembebasan sandera seorang WNI bernama Ahmad Resmiadi pada Maret 2005 dari kelompok Abu Sayyaf.

Dari pengalamannya itu, Benny menilai pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil langkah upaya pembebasan. Terlebih lagi, Pemerintah Filipina merupakan pemerintahan yang baru seumur jagung.

(Baca: Indonesia Ancam Stop Pengiriman Batu Bara ke Filipina)

Sang Presiden yang baru saja terpilh, Rodrigo Duterte, membutuhkan waktu untuk menata dan mengonsolidasikan ke dalam.

"Mereka perlu waktu konsolidasi, bagaimana menata hubungan Manila dengan Filipina Selatan (markas kelompok penyandera)," ujar dia.

Belum lagi persoalan dalam negeri lainnya yang mesti diselesaikan. Oleh sebab itu, pemberhentian pengiriman batubara ke Filipina, menurut Benny, bukanlah langkah bijak.

Mantan Interpol ini mengatakan, satu-satunya jalan agar pemerintahan Filipina dapat mencegah penyanderaan oleh warganya adalah melakukan pendekatan kesejahteraan.

(Baca: Panglima TNI: Biarkan Saja Filipina Mati Lampu)

Filipina harus membangun bagian selatannya secara merata. Seharusnya, lanjut Benny, Indonesia mendorong ke arah sana, bukan malah menyetop batubara dan dapat berimbas pada krisis listrik di sana.

"Sejarahnya, perairan Sulu itu merupakan pusat perdagangan. Jika itu bisa dikembalikan, pasti (penyanderaan) tidak terjadi lagi. Untuk ke arah sana, Pemerintah Filipina butuh waktu," ujar Benny.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengancam menghentikan pengiriman batubara ke Filipina apabila negara tersebut tidak serius menangani upaya pembebasan WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf.

(Baca: Jokowi Telepon Presiden Filipina Terkait WNI yang Disandera)

"Karena Filipina juga akan menderita nanti begitu kita stop batubara, listrik di Selatan itu mati semua. Di situ ada dua (pembangkit listrik), batubara dan geotermal," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Selasa (12/7/2016).

Kejadian penyanderaan WNI yang bekerja sebagai awak kapal sudah terjadi empat kali dalam beberapa bulan belakangan ini. Sejumlah WNI telah berhasil dibebaskan, tetapi masih ada tujuh WNI lain yang masih disekap kelompok Abu Sayyaf.

Kompas TV Ke-4 Kali Kasus WNI Disandera Perompak di 2016
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com