JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay mengatakan, ada sejumlah langkah yang harus ditempuh Kementerian Kesehatan jika memutuskan untuk menggelar vaksinasi ulang.
Vaksinasi ulang diwacanakan menyusul adanya temuan Polri terkait peredaran vaksin palsu di beberapa daerah.
Pertama, kata Saleh, pemerintah harus terlebih dahulu mengumumkan nama-nama fasilitas pelayanan kesehatan yang diduga pernah menggunakan vaksin palsu.
"Hingga Selasa malam, BPOM menyebut ada 28 institusi kesehatan yang diduga pernah menggunakannya," ujar Saleh melalui keterangan tertulis, Kamis (30/6/2016).
(Baca: Ini Alasan Bareskrim Enggan Ungkap Nama Rumah Sakit yang Langganan Vaksin Palsu)
Kemudian pemerintah didesak untuk mendata terkait jumlah anak di masing-masing institusi kesehatan yang diimunisasi dengan vaksin palsu. Pendataan tersebut dinilai penting untuk mengetahui berapa jumlah anak yang perlu diimunisasi ulang.
"Kalau pemerintah serius, data-data itu pasti didapatkan. Di setiap rumah sakit dan poliklinik, data dan medical record pasien selalu ada. Apalagi data imunisasi, itu selalu tercatat karena ada beberapa kali pemberian vaksin yang dilakukan bagi anak-anak," ujar Politisi PAN itu.
(Baca: Kementerian Kesehatan Akan Adakan Vaksinasi Ulang)
Data tersebut nantinya dapat dijadikan dasar jika pemerintah hendak melakukan vaksinasi ulang. Namun, sebelumnya para orang tua yang bersangkutan perlu diajak bicara dan diyakinkan bahwa vaksin yang diberikan asli.
Adapun untuk menghindari hal sama terulang perlu dipastikan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaksanakan fungsinya dengan baik, sebab otoritas pengawasan yang dimiliki BPOM merupakan kunci utamanya.
Karena itu, lanjut Saleh, BPOM perlu merumuskan road map yang jelas terkait pengawasan dan pengamanan terhadap semua produk obat, makanan, minuman, dan kosmetik yang beredar di Indonesia.
(Baca: Jangan-jangan Vaksin Anakku Palsu...)
Selain itu, koordinasi antara lembaga-lembaga negara juga dinilai penting. Koordinasi itu setidaknya melibatkan Kemenkes, Kepolisian, BPOM, seluruh sarana penyedia layanan kesehatan, serta instansi lainnya.
"BPOM tidak mungkin mengerjakan sendiri. Partisipasi semua pihak sangat diperlukan. Terutama partisipasi masyarakat luas," tutup dia.
Upaya pengungkapan kasus vaksin palsu ini berawal dari temuan penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, keberadaan vaksin palsu itu diketahui beredar sejak 2003 silam.
Saat ini, pihak aparat masih menggali informasi lebih jauh dari pelaku yang telah ditangkap.
Dalam penggeledahan beberapa waktu lalu, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Polisi telah menetapkan 16 tersangka. Mereka dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.