Jika ada orang kecil bagi Bung Karno, maka tak ada Marhaen di negeri ini. Jika ada orang kecil baginya, maka takkan ada Sarinah bagi kita. Jika ada orang kecil, tak juga ada Riwu Ga dan Darham dalam sejarah kita. Bahkan Sariko, sipir Belanda yang bertugas menjaganya di Banceuy, jatuh cinta pada revolusi.
Bung Karno malah dengan sadar mengajak para pelacur Kota Kembang menjadi agen rahasianya dalam pendirian Republik--sebelum dibuang Belanda ke Endeh. Masih dalam rangkaian pembuangan, di Padang pun ia mengajak dan mendidik barisan pelacur untuk mengelabui tentara Jepang.
Maka menjadi wajar ketika Bung Karno telah didapuk selaku presiden, fotonya dipajang secara terhormat di kamar rumah-rumah bordil. Bapak kita mafhum. Sebab para pelacur itulah penyumbang dana bagi perjuangannya ketika masih memimpin Partai Nasional Indonesia di Bandung.
Sejarah telah membuktikan kemampuan unik Bung Karno membesarkan siapa pun orang yang berdekatan dengannya. Ia tak hanya rela didekati. Lebih dari itu, menerima dengan lapang dada dan hati yang terbuka.
Manusia sejati
Bung Karno tak pernah percaya bahwa kemiskinan adalah takdir manusia. Ia tahu betul, keserakahan kolonialisme adalah ujung pangkalnya.
Sejak kecil ia telah terbiasa makan satu kali dalam sehari. Menunya adalah ubi kayu, jagung tumbuk, dengan makanan sederhana yang lain. Bahkan ibunya tak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh petani. Ia hanya bisa membeli padi.
Setiap pagi, Idayu mengambil lesung dan menumbuk. Tak henti-hentinya menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar, kendati telapak tangannya memerah dan melepuh.
Dengan melakukan itu, Idayu bisa menghemat uang satu sen. Berbekal uang satu sen itu ia dapat membeli sayuran. Semenjak hari itu dan seterusnya, selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Sukarno harus menumbuk padi untuk ibunya.
Sulur kemelaratan yang mendera keluarga Sukarno, menyebabkan ia akrab dengan kepahitan hidup. Ia telah sangat terbiasa tak memiliki apa pun selain ibunya. Ia melekat pada Idayu karena perempuan mulia itulah satu-satunya sumber pelepasan kepuasan hatinya.
Idayu juga perempuan pemberani. Ia pernah mendamprat para pejuang yang bersembunyi di belakang rumahnya, di Blitar. Ikhwal mereka hanya bisa tiarap dan tak melakukan penyerangan sama sekali untuk menghancurkan tentara Belanda.
"Ia adalah ganti gula-gula yang ada di dunia ini. Yah, ibu mempunyai hati yang begitu besar dan mulia," kenang Bung Karno.
Bapaknya, seorang guru yang keras. Sekali pun sudah berjam-jam belajar, ia masih tega menyuruh Sukarno kecil terus belajar sampai pusing dan kelelahan. Perpaduan sempurna inilah sumber kebesaran hatinya membina rakyat yang kelak ia perjuangkan.
Kendati dililit kemelaratan hidup, bunga kasih sayang masih mengelilingi Bung Karno. Ia pun insyaf, bahwa kasih sayang menghapus segala keburukan. Hasrat mencintai telah menjadi salah satu kekuatan pendorong dalam hidupnya, kelak di kemudian hari.
Atas dasar itulah, ia membenci segala bentuk penjajahan bangsa oleh bangsa lain. Bung Karno bertekad menghapusnya dari muka dunia, dan itikad itu telah ia buktikan dalam sejarah manusia.
Omah Prabata, 21 Ramadhan 1437 H
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.