Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial (medsos) khususnya dalam dunia politik Indonesia telah menjadi mantra paling seksi yang paling sering dibicarakan selama kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini.
Penggunaan media sosial diangap sebagai kehadiran sebuah era politik baru yang menghadirkan suara rakyat secara lebih luas.
Di Indonesia, media sosial mencapai puncak popularitasnya saat digunakan para pendukung dan relawan pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta 2012 yang memenangkan Jokowi-Basuki.
Media sosial semakin menjadi-jadi pengaruhnya saat kampanye pileg dan pilpres 2014 lalu yang mengantarkan Jokowi menjadi Presiden ke-7 RI. Para aktivis medsos seolah menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri yang menentukan dan bernilai tinggi.
Medsos menjadi senjata politik yang ampuh khususnya dibutuhkan saat memobilisasi dan mempengaruhi kebijakan publik tertentu.
Gagalnya Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri dan kemunculan ‘Teman Ahok’ menjadi contoh-contoh terkini dari tren mobilisasi media sosial dalam sebuah tujuan politik.
Fenomena media sosial di Indonesia memang cukup mengesankan. Menurut situs data wearesocial.com, dari sekitar 259 juta total jumlah populasi di republik ini terdapat 88 juta warga (34 persen) pengguna internet aktif. Dari 88 juta manusia tersebut, tercatat 79 jutanya adalah pengguna aktif media sosial.
Sejauh ini memang belum ada referensi akademik atau kajian yang lebih komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap, katakanlah, perilaku memilih individu dalam setiap pemilu.
Cuma yang jelas, akibat kekuatan media sosial, sejumlah gempa politik sudah terjadi dan mempengaruhi konfigurasi dan wajah politik sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Negara dan Inovasi Demokrasi
Di era neoliberal ini, tantangan terhadap peran negara menjadi sangat besar. Secara spesifik tantangan bagi partai saat ini adalah kemampuan beradaptasi di satu sisi dengan situasi di mana negara bukan lagi satu-satunya aktor institusi yang dominan.
Negara memang masih dianggap menjadi penerima "mandat kedaulatan rakyat" untuk mengatur dan menjamin berbagai kepentingan publik. Namun saat ini aktor lain seperti masyarakat sipil dan, lebih "powerful" lagi, korporasi juga menjadi pemain utama dalam mempengaruhi proses formulasi kebijakan.
Dalam bukunya berjudul Democratic Governance (2010), Mark Bevir mengungkapkan adanya pergeseran pemahaman konsep dan peran negara model tradisional birokratik Keynesian menuju politik kontemporer yang disebutnya sebagai ‘the new governance’.
Konsep tata pemerintahan baru ini intinya lebih mengedepankan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) antarseluruh komponen termasuk pasar dan masyarakat sipil dalam proses-proses pengelolaan pembangunan masyarakat.
Ada dua pemikiran yang mempengaruhi model negara baru ini. Pertama pemikiran ekonomi politik neoliberalisme dan teori "rational choice" yang ingin membuat kinerja dan peran negara menjadi efisien. Kedua, bangkitnya kembali kesadaran "third way" merujuk pada pemikiran sosial demokrat, "center left politics" dan pendekatan "new institutionalism" sebagai dampak dari menguatnya populisme dan suara-suara rakyat di berbagai arena deliberasi publik.
Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.
Dalam bukunya berjudul Democratic Innovations (2009), Graham Smith menyatakan pentingnya memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi warga dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.
Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi.
Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.
Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.
Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara institusional.
Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap lembaga negara.
Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan kepentingan-kepentingan pemodal.
Konfigurasi Politik Baru
Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan kemitraan, aspek jaringan antaraktor, aspek transparansi dan aspek interaksi/keterlibatan (engagement) dari warga pada berbagai isu publik.
Dalam konteks pengadaptasian era demokrasi digital ini, aktor dan institusi politik harus memahami sebuah proses sosiologis bernama "civic talk" atau ruang perbincangan publik yang sangat terbuka berdasarkan nilai-nilai dan moralitas publik.
Perbincangan publik ini kerap menghasilkan sebuah opini dominan yang secara langsung, dalam banyak kasus, mampu mempengaruhi berbagai keputusan-keputusan strategis terkait isu tertentu.
Terkadang sukses dalam mendikte perilaku atau kebijakan penguasa yang dianggap menyalahi rasionalitas dan idealisme publik. Namun tak jarang yang gagal dan membentur resistensi penguasa dan klas elite oligarki.
Jika kita cermati secara lebih jernih, dalam konteks politik Indonesia saat ini, Jokowi sebagai presiden kerap harus menghadapi posisi yang terjepit di tengah pertarungan oligarki ekonomi politik yang membuatnya harus bermanuver dengan licin dan cerdas.
Jokowi sejatinya adalah anak kandung dari era politik baru ini sendiri. Ia membawa perubahan sekaligus pelajaran berharga bagi institusi politik lama (agar berubah) sekaligus menyadarkan pentingnya partisipasi rakyat dalam isu-isu publik melalui instrumen politik baru ini.
Media sosial terkadang perannya tidak cukup independen karena disebabkan masih terdapatnya bias-bias kepentingan pemilik modal dan kelompok penguasa yang melatarbelakanginya.
Apalagi tak semua orang di negeri ini yang bisa mengakses dan mendistribusikan informasi secara jernih dalam berbagai kasus sensitif.
Dalam banyak kasus, khususnya pada isu-isu politik kekuasaan, arena perbincangan publik seringkali bukanlah sebuah arena normatif yang bebas kepentingan. Justru ia adalah arena kontestasi yang sesungguhnya, berupa sebuah arena pertempuran antar berbagai kepentingan ekonomi-politik, antar aktor atau kelompok kekuatan.
Di sinilah pentingnya menjaga kehadiran masyarakat sipil yang berpegang teguh pada advokasi isu-isu atau agenda-agenda kerakyatan dan idealisme moralitas publik.
Di tengah pertarungan politik (real politics) yang gaduh, tajam, kejam dan membosankan, maka rakyat sebaiknya tetap disajikan dengan nilai-nilai yang ideal sehingga kesalehan dan kepercayaan publik serta kebijaksanaan politik tetap terjaga.
Rakyat tetap percaya bahwa para pemimpinnya bersungguh-sungguh bekerja untuk mereka dan tidak berselingkuh untuk memenangkan kepentingan pribadi, golongan atau mungkin sponsor ketimbang kepentingan rakyat.
Era pemerintahan Presiden Jokowi ini adalah masa pergeseran era politik lama menuju era politik baru. Pertempuran menuju sebuah rekonfigurasi dan rekonsolidasi politik baru menjadi menarik karena tidak lagi menggunakan pemahaman dan format "politik lama".
Parpol bahkan terancam mengalami ‘deparpolisasi’ jika gagal berubah dan beradaptasi.
Nasihat saya, meskipun di era "new politics" ini individu rakyat cenderung dipentingkan ketimbang institusi, namun jangan hancurkan pilar dan institusi yang sudah membentuk, membangun dan menjaga negara-bangsa beserta spirit dan tradisi-tradisi otentik pluralisme ke-Indonesia-an sekian lama.
Jika mereka selama ini dinilai keropos dan berkinerja buruk maka tanggung jawab kita untuk memperbaiki.
Proporsionalitas politik tetap penting untuk menjaga sejarah dan nilai-nilai pembentukan negara-bangsa kita. Karena hanya dengan merawat sejarah kebangsaan kita, maka kita sebagai bangsa akan memiliki karakter juara dan tidak tersesat dalam pertarungan geopolitik global.
Selamat datang rejim politik baru Indonesia. Semoga bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.