JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah menunjuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI. Nama Tito sudah diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Sebelum menjabat Kepala BNPT, sejumlah jabatan prestisius di Polri pernah dijabat Tito Karnavian. Jabatan itu di antaranya adalah Kapolda Metro Jaya, Kapolda Papua, dan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Meski begitu, nama Tito sudah terdengar lebih dulu saat menangani sejumlah kasus besar.
Salah satu peristiwa yang melambungkan nama Tito adalah saat memimpin Tim Kobra dalam penangkapan putra presiden RI kedua Soeharto, Hutomo Mandala Putra pada 2001.
Sebelum kasus itu pun, nama Tito sudah muncul karena menangani kasus besar yang menarik perhatian publik saat menjabat Kepala Satuan Reserse Ekonomi di Ditserse Polda Metro Jaya.
Saat itu, Tito yang menjabat Mayor Polisi menangani kasus penyalahgunaan dana karyawan di Yayasan Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik (Yanatera Bulog) sebesar Rp 35 miliar.
Kasus itu menjadi perhatian utama publik pada pertengahan 2000 karena tidak hanya melibatkan Wakil Kepala Bulog Sapuan.
Namun, kasus yang dikenal dengan sebutan Buloggate itu juga melibatkan "orang Istana", yaitu tukang pijat Presiden Abdurrahman Wahid, Soewondo.
Dilansir dari arsip Harian Kompas pada 26 Mei 2000, Tito Karnavian memimpin anak buahnya menangkap Sapuan di kantornya, Gedung Bulog Jalan Gatot Subroto, pada 25 Mei 2000.
Tito kemudian langsung memimpin proses penyidikan terhadap Sapuan, yang berjalan beberapa jam setelah Sapuan ditangkap.
Selain itu, Tito juga terlibat dalam pencarian Soewondo yang buron setelah namanya disebut terlibat dalam kasus itu.
Soewondo sendiri ditangkap di sebuah rumah mewah pada 14 Oktober 2000 di Cisarua, Bogor.
Dilansir dari arsip Harian Kompas terbitan 16 Oktober 2000, Tito menyebut penangkapan itu dilakukan di rumah Soewondo sekitar pukul 13.30 WIB.
Calo kekuasaan
Dilansir dari arsip Harian Kompas, menurut Rizal Ramli yang saat itu menjabat Kepala Bulog, kasus Buloggate bermula akibat adanya permainan "calo-calo" kekuasaan.
Sejak pembubaran Kementerian Pangan, banyak pejabat eselon Bulog yang khawatir kehilangan jabatan. Karena itu banyak pejabat yang disebut mendekati sejumlah pihak yang mengaku memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Sapuan kemudian mendekati Soewondo untuk minta dipertemukan dengan presiden yang akrab disapa Gus Dur itu.
Setidaknya ada dua hal yang ingin ditanya, yaitu kabar pembubaran Bulog seperti yang didengar Sapuan dari risalah sidang kabinet, serta informasi mengenai keinginan Presiden menarik dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh.
Soewondo kemudian menghubungi Sapuan untuk dicarikan pinjaman Rp 35 miliar untuk penyelesaian Aceh.
Sapuan sempat meminta dana kepada Kepala Bulog yang saat itu dirangkap Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla. Namun, Kalla menolak karena tidak ada konfirmasi dari Presiden.
Setelah itu, Sapuan pun menggunakan dana Yanatera tanpa persetujuan Jusuf Kalla. Dana itu kemudian diserahkan kepada Soewondo dalam beberapa kali pencairan sejak 13-20 Januari 2000.
Proses politik
Kasus itu kemudian merembet ke ranah politik, saat DPR membentuk Panitia Khusus Bulog.
Pansus Bulog menduga Gus Dur mengetahui pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog. Dugaan ini muncul hanya berdasarkan adanya pertemuan Gus Dur dengan Sapuan di Istana.
Proses politik yang berlangsung di DPR berlanjut hingga dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Gus Dur pun dicopot dari jabatannya sebagai presiden, tanpa melalui mekanisme hukum atau proses pengadilan.