JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pembatalan sebanyak 3.143 peraturan daerah bukanlah yang terakhir. Ke depan, kementeriannya akan melakukan lagi kebijakan serupa.
"Orang bekerja itu dinamis. Kami akan update terus," ujar Tjahjo di Istana, Selasa (14/6/2016).
Tjahjo mencontohkan, ada sekitar 9.000 peraturan daerah yang mengatur tentang investasi dan kelancaran administrasi. Perda itu menyangkut pertumbuhan ekonomi. Dari jumlah tersebut, terdapat 6.000-an peraturan yang dinilai bermasalah.
Oleh sebab itu, penghapusan 3.143 peraturan yang diumumkan Presiden Joko Widodo dipastikan bukanlah kebijakan terakhir, melainkan baru awal.
(Baca: Jokowi: 3.143 Perda Bermasalah Telah Dibatalkan)
Selain peraturan yang menyangkut persoalan ekonomi, Tjahjo juga berencana menghapus peraturan yang berkaitan dengan biaya administrasi dokumen yang dibebankan kepada masyarakat.
"Pemerintah sudah memutuskan untuk mengurus KTP, gratis, tetapi masih ada saja perda yang ngatur itu. Pelan-pelan kami akan sisir," ujar Tjahjo.
Saat ditanya apakah pembatalan peraturan selanjutnya kembali difokuskan pada peraturan-peraturan terkait kelancaran investasi, Tjahjo mengatakan belum tentu.
"Sementara ini, arahan Presiden adalah deregulasi investasi dan ekonomi. Yang menghambat itu, hapus. Tetapi, kami lihat saja tahun mendatang ada skala prioritas apa yang muncul lagi," ujar dia.
(Baca: Lebih dari 3.000 Perda Dihapus, Pemerintah Janjikan Pengusaha Cukup Kantongi Satu Izin)
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan, Kementerian Dalam Negeri sudah membatalkan sebanyak 3.143 peraturan daerah. Peraturan-peraturan tersebut dianggap bermasalah.
"Saya sampaikan, Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/6/2016).
Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dibatalkan itu, kata Jokowi, adalah peraturan yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.
Selain itu, peraturan tersebut dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha.
"Peraturan-peraturan itu juga bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi," ujar Jokowi.