JAKARTA, KOMPAS.com — Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus meminta Presiden Joko Widodo cermat dan hati-hati dalam memutuskan jabatan soal kepala Polri. Dua opsi kini berkembang, yakni mempertahankan Jenderal Pol Badrodin Haiti atau menunjuk perwira aktif Polri lain menggantikan Badrodin.
Petrus menilai, kedua opsi itu sama-sama diperbolehkan dalam peraturan perundangan. Namun, khusus soal opsi menunjuk perwira aktif Polri lain menggantikan Badrodin, Petrus menyoroti nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang didorong PDI Perjuangan untuk jadi calon kepala Polri.
Sorotan tajam tertuju pada alasan-alasan yang diungkap para politikus partai berlambang banteng itu bahwa Budi sudah tak "disandera" kasus korupsi karena telah memenangi sidang praperadilan dan ditunjuknya Budi sebagai kepala Polri adalah bentuk regenerasi di tubuh Polri.
"Pandangan kelompok ini harus diwaspadai," ujar Petrus melalui pesan singkat, Selasa (14/6/2016).
(Baca: Budi Gunawan Calon Kapolri Terkaya, Hartanya Lebih dari Rp 22,7 M)
Tentang Budi menang praperadilan, misalnya, Petrus menilai hal itu bukan berarti Budi telah dinyatakan bersih tanpa cela.
Hal tersebut karena dalam KUHAP dan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan praperadilan hanya mengenai prosedur penyidikan dan tidak menyentuh substansi pokok perkara seseorang.
Artinya, meski sidang praperadilan memutus bahwa status tersangka pada seseorang tidak sah secara hukum, bukan berarti seseorang tersebut dipastikan tidak melakukan sebuah tindak pidana. Putusan praperadilan tidak mencakup materi perkara.
Dengan demikian, Petrus mengatakan, pernyataan politikus PDI-P yang menyatakan bahwa Budi sudah clean and clear dari kasus rekening gendut lantaran telah memenangi praperadilan adalah menyesatkan dan bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
(Baca: Ini Profil Tujuh Jenderal Bintang Tiga yang Masuk Bursa Calon Kapolri)
"Penilaian atas clean and clear itu munculnya dari politisi PDI-P dan ditujukan kepada Presiden Jokowi untuk memilih dan menetapkan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri. Ini namanya tidak jujur, tidak fair, dan tidak obyektif," ujar salah satu advokat Peradi itu.
Menurut Petrus, putusan praperadilan itu masih menimbulkan kesimpangsiuran sehingga tak bisa dimaknakan Budi Gunawan bersih dari segala masalah.
"Seseorang baru bisa dinyatakan clean and clear dari sangkaan pidana jika majelis hakim mengetok palu, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan oleh karena itu membebaskan terdakwa dari segala tuduhan dan tuntutan serta memerintahkan negara untuk memulihkan segala harkat dan martabatnya," kata dia.
Oleh sebab itu, Petrus mendorong perangkat hukum Indonesia mengusut kembali perkara yang pernah melibatkan Budi demi kejelasan status hukumnya, apakah bersalah atau tidak.
(Baca: Dukung Budi Gunawan Jadi Kapolri, PDI-P Tolak Jabatan Badrodin Diperpanjang)
"Demi membersihkan nama baik Komjen Budi Gunawan jika memang terbukti tidak bersalah dan jika kemudian terbukti bersalah, maka demi kepentingan umum harus dihukum," ujar Petrus.
Petrus menilai, sudah lazim penyidik langsung membuka penyelidikan dan penyidikan baru ketika putusan praperadilan memenangkan tersangka. Bahkan, biasanya penyidik bersifat agresif dalam hal itu.
Perkara dugaan korupsi La Nyalla Mattalitti melawan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur adalah contohya. Begitu hakim praperadilan memutuskan memenangkan La Nyalla Mattalitti, kejaksaan seketika itu juga mengeluarkan surat penetapan tersangka baru.
Bahkan, meskipun tiga kali berturut-turut La Nyalla Mattalitti memenangi praperadilan, pihak kejaksaan tetap mengejar tersangka La Nyalla hingga akhirnya ditahan kembali dan perkaranya jalan terus.