Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Mari Menoleh Sejenak ke Cikeas

Kompas.com - 13/06/2016, 07:40 WIB
Kompas TV SBY Ingatkan Pemerintah Tak Tambah Utang
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto


Kecuali Presiden Pertama RI Soekarno dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, setiap presiden di Indonesia identik dengan sebuah kawasan yang menjadi tempat tinggalnya. Jika kawasan itu disebut, asosiasi publik pertama-tama adalah kepada presiden tersebut.

Cendana yang adalah nama jalan di Menteng, Jakarta Pusat identik dengan Presiden ke-2 RI Soeharto. Patra Kuningan yang merupakan nama jalan di Kuningan, Jakarta Selatan identik dengan Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie. 

Ciganjur yang merupakan kawasan di pinggir Jakarta Selatan identik dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau biasa disebut Gusdur. Teuku Umar yang merupakan nama jalan di Menteng, Jakarta Pusat identik dengan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.

Terakhir adalah Cikeas. Terletak di Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Cikeas yang terletak sekitar 45 kilometer dari Istana Kepresidenan Jakarta identik dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebelum SBY mundur dari posisinya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati, Maret 2004, tidak banyak orang yang tahu Cikeas.

Mundurnya SBY dari kabinet dengan alasan sejumlah kewenangannya sebagai pembantu presiden dicabut membuat SBY lebih sering memberi keterangan di rumah pribadinya di Puri Cikeas Indah. Saat itu muncul juga ketegangan SBY dengan Istana yang "diwakili" Taufik Kiemas, suami Megawati. 

"Media darling" dari Cikeas

Sejak drama politik itu, Cikeas muncul di media hampir setiap hari. Terlebih, saat mundur, SBY menyatakan diri akan maju sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden 2004 yang pertama kali dilaksanakan secara langsung. Posisi SBY sebagai "media darling" membuat Cikeas yang ada di sisi timur Cibubur, Jakarta Timur sangat terkenal. 

Untuk keinginannya maju sebagai calon presiden melawan Megawati di Pilpres 2004, SBY ternyata sudah mempersiapkan diri dengan matang. Partai Demokrat yang baru diketahui publik saat SBY mundur, telah didirikan SBY sebulan setelah dirinya dilantik menjadi pembantu Megawati.

SBY dilantik menjadi Menkopolkam di Kabinet Gotong Royong pada 10 Agustus 2001. Partai Demokrat didirikan SBY bertepatan dengan ulang tahunnya ke-52, September 2001. Karena sudah tiga tahun berdiri dan dirawat, saat SBY mundur, Partai Demokrat terlihat siap ikut Pemilu Legislatif 2004.

Kesiapan Partai Demokrat di Pemilu Legislatif 2004 terbukti dengan perolehan 8.455.225 suara atau 7,45 persen. Perolehan suara Partai Demokrat ada di posisi ke lima di bawah Partai Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Sebagai partai baru, perolehan suarannya mengungguli PKS dan PAN yang lebih dulu lahir dan merasa siap.

Posisi Partai Demokrat yang melejit disertai keinginan SBY maju sebagai calon presiden menantang Megawati memunculkan sentimen positif, setidaknya dari media massa kala itu. Merapatnya para petualang politik ke Cikeas dan kerap jadi berita di media massa membuat kawasan ini terasa dekat. 

Kemenangan SBY dalam dua putaran atas Megawati di Pilpres 2004 membuat Cikeas berkibar. Tidak lama setelahnya, para pengembang berlomba-lomba menawarkan berhektar-hektar kawasan di sekitarnya sebagai perumahan. Tepat bersisian dengan tempat SBY, dibangun kantor pemasaran Agung Sedayu.

Bersamaan dengan pertumbuhan ini, jalan raya dari Cikeas menuju Cibubur diperlebar. Penataan dan pengembangan kawasan Cikeas terus dilakukan bersamaan dengan berlanjutnya kekuasaan SBY yang menang dengan decak kagum dalam Pilpres 2009. 

RODERICK ADRIAN MOZES Pimpinan partai-partai koalisi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) di kediaman presiden di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/10/2011). Dari kiri ke kanan: Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Presiden Boediono, Ketua Umum PAN Hatta Radjasa, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Presiden mengundang semua pemimpin parpol koalisi ke Cikeas untuk membahas tentang reshuffle atau perombakan kabinet.
Namun, tidak ada pesta yang tidak berakhir. Bersamaan dengan korupsi oleh pimpinan puncak, petinggi, dan beberapa pendiri Partai Demokrat sejak 2010 yang terbukti, pamor Cikeas yang sempat terang benderang lantas meredup. Beberapa kawasan di Cikeas yang semula hendak dibangun sebagai perumahan ikut-ikutan terbengkalai.    

Bagi Partai Demokrat, korupsi oleh pimpinan puncak, petinggi, dan pendiri partai berimbas lebih nyata. Selain kehilangan kader-kader yang sebelumnya diklaim dan diiklankan sebagai kader-kader terbaik, Partai Demokrat juga kehilangan banyak sekali suara.

Di Pemilu 2009, Partai Demokrat menjadi juara dengan memperoleh 21.703.137 suara atau 20,85 persen mengalahkan Partai Golkar (14,45 persen) dan PDi-P (14,03 persen). Terutama karena korupsi pimpinan puncak, petinggi, dan beberapa pendiri, dalam Pemilu 2014, Partai Demokrat anjok dengan perolehan 12.728.913 suara atau 10,19 persen.

Soroti tujuh isu 

Meredupnya pamor Partai Demokrat dalam Pemilu 2014 karena korupsi disusul kekalahan calon presiden yang didukung dalam Pilpres 2014 membuat Cikeas hilang dari gegap gempita berita di media massa. 

Bersamaan dengan meredupnya gegap gempita berita di media massa soal Cikeas, tumbuh media sosial. Lewat media sosial ini, SBY (lewat Twitter) dan Ani Yudhoyono (lewat Instagram) menyuarakan sikapnya dari Cikeas. Tanggapan dari jutaan pengikutnya pasti didapat. Suara dari Cikeas ini juga mendapat perhatian lumayan dari media massa.

Perhatian lumayan dari media massa dirasa tidak memadai. Karena itu, meskipun sudah menyampaikan sikap melalui Twitter, sekitar sebulan setelah tidak menjadi presiden, SBY mengulangi sikapnya saat Jumat (10/6/2016) pekan lalu menggelar jumpa pers di kediamannya di Puri Cikeas Indah.

Sikap ini merupakan penjelasan SBY atas tujuh isu yang disorotinya terkait jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era kepemimpinan Presiden Jokowi.

Penjelasan yang merupakan pengulangan atas apa yang pernah disampaikannya di Twitter ini ada dalam isu ketujuh: peran pers dalam kehidupan demokrasi dan pembangunan bangsa.

Enam isu lain yang disoroti SBY dalam jumpa pers yang diikuti pengurus Partai Demokrat adalah 1). situasi perkonomian, 2). kehidupan masyarakat dari aspek sosial dan ekonomi, 3). keadilan dan penegakan hukum, 4). kedaulatan partai politik dan isu intervensi kekuasaan, 5). TNI & Polri, 6). komunis di Indonesia dan potensi terjadinya konflik horisontal.

Respons atas kritik

Atas apa yang disoroti SBY, penguasa dan para penggembiranya bersikap seperti penguasa sebelum-sebelumnya dan para penggembiranya saat mendapati sorotan dan kritikan tajam. 

Seperti SBY pernah berkata bahwa pemerintahannya kebagian "cuci piring" atas pesta pora pemerintahan sebelumnya saat mendapati kritik, begitu juga reaksi politisi PDI-P sebagai representasi penguasa saat ini.

Bagi politisi PDI-P, SBY tidak bisa lepas tangan begitu saja terkait apa yang sedang dihadapi Indonesia saat ini lantaran merupakan kelanjutan dari 10 tahun pemerintahan sebelumnya.

Belum terdengar memang respons langsung Presiden Jokowi atas kritik SBY yang cukup berdasar dan mewakili kegelisahan sejumlah pihak ini.

Respons terakhir Presiden Jokowi atas kritik SBY mengenai fokus pembangunan infrastruktur adalah datang ke Proyek Hambalang yang mangkrak serta terbengkalai karena kasus korupsi para petinggi Partai Demokrat. 

Sambil menunggu respons Presiden Jokowi atas kritik SBY terutama pada soal-soal ekonomi yang serius, baik jika mencatat apa yang diingatkan SBY terkait media massa atau pers untuk "janganlah kita selalu membenarkan yang kuat, tetapi perkuatlah kebenaran."

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (paling kiri ke kanan) di Kantor DPP Partai Nasdem, Gondangdia, Jakarta, Selasa (7/6/2016)
Kecenderungan yang dilihat SBY ini bukan tanpa dasar. Bersamaan dengan dikuasainya sejumlah besar media oleh pemilik yang juga menjadi pimpinan tertinggi partai politik, kekhawatiran SBY akan penyimpangan peran media untuk "mebenarkan yang kuat" (penguasa) itu patut diperhatikan. 

Setelah Partai Nasional Demokrat yang katanya mendukung tanpa syarat ke Presiden Jokowi, kini Partai Golkar "pascarekonsiliasi" di bawah Ketua Umum Setya Novanto mengikuti. Tidak mau kalah cepat, Partai Golkar telah menyatakan mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Untuk Pilkada DKI Jakarta pun demikian. 

Meskipun langkah memang selalu ke depan, menoleh ke belakang tidak ditabukan. Cikeas yang beberapa waktu ini ditinggalkan telah memberi peringatan dan layak juga dijadikan catatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Nasional
Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com