JAKARTA, KOMPAS.com - Berbicara mengenai sejarah bangsa Indonesia tak bisa dipisahkan dari organisasi masyarakat (ormas) Muhammadiyah.
Sebagai salah satu ormas besar di negeri ini, peran Muhammadiyah terbilang aktif dalam mengiringi perkembangan bangsa.
Dengan caranya, Muhammadiyah selalu berusaha membimbing laju bangsa Indonesia menuju kiblat yang semestinya, yakni berkehidupan sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Muhammadiyah sejak didirikan pada 1912 oleh Ahmad Dahlan, dinilai beberapa kalangan konsisten membela kaum lemah, yakni dengan mengembangkan pendidikan, panti asuhan, dan pelayanan kesehatan.
Gerakan Muhammadiyah ini kemudian menjadi gerakan yang bersifat nonpolitik tetapi tidak anti-politik. Pada perjalanannya kemudian, Muhammadiyah pun terlibat dalam politik praktis.
Hal itu terlihat dari terbentuknya sejumlah partai seperti Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Partai Masyumi, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Di era kepemimpinan Din Syamsuddin, pada kisaran 2010 atau saat Muktamar Satu Abad Muhammadiyah" di Yogyakarta, Muhammadiyah mendeklarasikan adanya "Jihad Konstitusi".
Jihad konstitusi merupakan gerakan pembaruan di bidang hukum dan upaya korektif yang dilakukan melalui jalur formal, yakni dengan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bagi Muhammadiyah, jihad konstitusi sangat penting untuk mewujudkan cita-cita agar bangsa ini berjalan ke arah yang semestinya.
Apalagi, sejumlah produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR RI dinilai ada yang meleceng dari cita-cita awalnya.
"Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak sepantasnya untuk berdiam diri terhadap terjadinya fenomena di mana banyak undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi, di mana di situ terdapat kiblat bangsa itu sendiri," kata Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, di Jakarta, Selasa (7/6/2016).
Salah satu hasil dari jihad konstitusi ini, misalnya saat MK membatalkan seluruh pasal tentang kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Pembatalan itu tertuang dalam Surat Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tertanggal 13 November 2012. MK menganggap keberadaan BP Migas inkonstitusional sehingga pasal tersebut harus dibubarkan.
"Ini adalah salah satu dari beberapa pasal yang kami perjuangkan, yang kami nilai ini melenceng dari kiblat bangsa karena adanya liberalisasi ekonomi dan tidak berpihak pada masyarakat" kata Haedar.
Sampai saat ini, sedikitnya sudah tujuh pasal yang akhirnya dicabut setelah upaya peninjauaan kembali dikabulkan oleh MK.
Lalu apakah hasil itu sudah memuaskan dan memenuhi target Muhamadiyah? Apa lagi target berikutnya?
"Sebetulnya tidak ada yang diharapkan oleh Muhammadiyah kecuali agar perjalanan bangsa dan negara ini betul betul menuju dan mengarah pada desain awal terbentuknya negara kesatuan RI ini," kata Haedar.