JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai ada sejumlah substansi penyelenggaraan Pilkada yang tak dibahas dan belum terakomodasi dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Misalnya, menurut Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafid, terkait perbaikan syarat calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7.
Salah satu rekomendasi yang disampaikan kepada para pembentuk UU terhadap perbaikan syarat calon kepala daerah adalah memberikan larangan kepada seorang yang berstatus tersangka untuk mencalonkan diri.
Jika mau dipersempit dan diberikan kekhususan, kata Masykur, maka larangan bisa disampaikan kepada orang yang menjadi tersangka kasus korupsi.
"Hal ini menjadi penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih oleh masyarakat," ujar Masykurudin melalui keterangan tertulis, Senin (6/6/2016).
"Namun, ketentuan akhirnya tidak jadi disepakati oleh DPR dan Pemerintah," sambung dia.
Kedua, terkait syarat calon kepala daerah yang berstatus terpidana bebas bersyarat. Ketidakpastian aturan tersebut mengakibatkan penundaan pengelenggaraan Pilkada, salah satunya adalah Kota Manado.
Poin berikutnya adalah mengenai penataan waktu penyelenggaraan Pilkada. Dalam ketentuan UU Pilkada hasil revisi, diatur bahwa penyelenggaraan pilkada serentak secara keseluruhan dipercepat, dari awalnya tahun 2027, dipercepat menjadi tahun 2024.
Masykurudin menambahkan, terkait akhir masa jabatan kepala daerah tahun 2022 dan 2023 perlu dicermati. Keduanya merupakan hasil Pilkada 2017 dan 2018.
Dalam ketentuan UU Pilkada hasil revisi, untuk dua jenis masa jabatan tersebut, tak lagi akan dilaksanakan pemilihan pada 2022 dan 2023.
Melainkan, akan ditunjuk pelaksana tugas/penjabat kepala daerah sampai dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024.
Dengan begitu, lanjut Masykurudin, nantinya akan ditunjuk 101 pejabat kepala daerah yang akhir masa jabatannya habis pada 2022 dan 171 pejabat kepala daerah untuk daerah yang akhir masa jabatannya habis pada 2023.
"Artinya, pemerintah penting untuk menyiapkan sejumlah orang-yang tidak sedikit-untuk menjadi penjabat kepala daerah, dengan jaminan bahwa kondisi tersebut tidak akan mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemenuhan pelayanan publik di daerah," tutur Masykurudin.
Poin keempat, lanjut dia, adalah terkait desain penyelesaian sengketa pemilihan atau sengketa pencalonan yang dianggap belum memiliki standar hukum acara.
Ia menyayangkan poin tersebut tak dibahas di DPR. Padahal, ini merupakan hal yang krusial serta terbukti telah berimbas pada penyelenggaraan Pilkada 2015 lalu.
Imbasnya yaitu dengan penundaan pilkada di lima daerah yang berawal dari proses penyelesaian sengketa pencalonan yang tak pasti.
Misalnya, dengan memberikan wewenang tersebut kepada Panitia Pengawas Penilu Kabupaten/Kota dan Provinsi serta Badan Pengawas Pemilu.
"Pengawas pemilu kabupaten/kota bukanlah lembaga yang disiapkan untuk menyelesaikan sengketa pencalonan," ujarnya.
Poin kelima, terkait penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Evaluasi terhadap singkatnya waktu untuk pengajuan permohonan yang 3 x 24 jam terbukti menyulitkan banyak pemohon untuk bisa maksimal menyiapkan permohonan sengketa berikut dengan buktinya.
Selain itu, adanya batasan selisih yang sangat tipis, diyakini menafikan keadilan pemilu yang hendak dicari dalam proses perselisihan hasil pilkada.
"Adanya syarat selisih suara yang sangat tipis dikhawatirkan akan menutup kesempatan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi selama proses pilkada," ucap Masykurudin.
Hal lain terkait dengan konsistensi hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa sengketa hasil pilkada.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah proses dan mekanisme pemeriksaan pendahuluan yang seharusnya sesuai hukum acara MK.