Menurutnya, PKI-lah yang seharusnya meminta maaf kepada negara Indonesia karena telah melakukan pengkhianatan dan pembantaian massal.
"Kami minta ketegasan sikap pemerintah. Satu hal yang paling penting lagi, kami menuntut kepada Pemerintah tidak boleh negara ini meminta maaf pada PKI. Karena PKI yang salah, melakukan pengkhianatan dan pembantaian. Justru seharusnya PKI yang minta maaf kepada negara ini," ujar dia.
Pemerintah tak akan minta maaf
Sejak awal inisiatif penyelesaian kasus 1965 itu muncul, Pemerintah sudah menegaskan akan menyatakan penyesalannya.
Pernyataan penyesalan itu dipilih untuk mengganti permintaan maaf pemerintah terhadap keluarga korban pelanggaran HAM.
Pada Selasa (5/1/2016) Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan bahwa Pemerintah akan segera memroses kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tetapi tidak dalam konteks meminta maaf.
Pendekatan yang dilakukan Pemerintah, kata Luhut, adalah pendekatan non-yudisial. Pernyataan tersebut kembali disampaikan Luhut saat memberikan sambutan pada pembukaan Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).
Luhut menegaskan, tidak ada rencana pemerintah untuk meminta maaf terkait kasus peristiwa kekerasan 1965.
"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," ujar Luhut.
Ia menuturkan, pemerintah telah melalui proses yang tidak mudah. Beberapa pertemuan telah digelar untuk mendapatkan ide simposium nasional tersebut.
(Baca juga: Meski Muncul Pertentangan, Pemerintah Tetap Akan Tuntaskan Kasus 1965)
Menurutnya, pemerintah memiliki niat yang serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, khususnya peristiwa 1965.
"Proses ke sini tidak mudah. Beberapa kali kami menggelar pertemuan untuk melaksanakan simposium. Latar keinginan pemerintah, masalah HAM harus dituntaskan," kata Luhut.
Ia pun berharap, melalui simposium nasional, pihak-pihak yang bertikai dalam peristiwa 1965 bisa berdamai.
Luhut menginginkan ada pengungkapan fakta yang terjadi saat itu melalui pendekatan sejarah.
"Mari berdamai dengan masa lalu kita. Katakan benar kalau itu benar, salah kalau itu salah. Saya yakin dalam diskusi ini pasti ada pro dan kontra. Spirit kita menyelesaikan masalah. Jangan berburuk sangka. Kita jangan menubrukkan satu kelompok dengan kelompok lain," tutur dia.
Sementara itu, Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 Letjen (Purn) Agus Widjojo mengatakan bahwa tujuan utama penyelenggaraan simposium itu bukan untuk mencari siapa yang benar dan yang salah terkait Tragedi 1965.
Agus mengatakan, simposium tersebut akan menggunakan pendekatan sejarah dalam mengungkapkan kebenaran untuk mencari apa yang salah dalam sistem nasional ketika peristiwa kekerasan 1965 terjadi dan dalam rangka menarik pelajaran agar tidak terulang peristiwa serupa pada masa depan.
"Kami tidak mencari siapa yang salah. Makanya, kami memakai pendekatan sejarah. Mencari proses sebab akibat," ujar Agus saat memberikan keterangan terkait Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan sikap pemerintah terkait peristiwa 1965 sudah sangat jelas dan tidak berubah.
Menurutnya, Pemerintah tidak memiliki rencana untuk meminta maaf terkait peristiwa 1965