JAKARTA, KOMPAS.com — Terpecah dan tidak solid. Itulah hasil penelitian Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Power Walfare and Democracy (PWD) tentang wajah gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat ini.
Penyatuan elemen-elemen gerakan tetap ada, tetapi sangat rapuh dan tidak berkelanjutan.
"Aliansi gerakan bukannya enggak terjadi. Itu terjadi, tetapi itu hanya merespons reaktif isu-isu, setelah selesai, ya bubar," ujar salah satu peneliti, Willy Purna Samadhi, saat berbincang dengan Kompas.com di salah satu kedai kopi di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (3/6/2016).
Kondisi itu, menurut Willy, menggambarkan satu hal, yakni ketidakjelasan paradigma soal demokrasi bersama. Kondisi ini bukan akhir gerakan masyarakat sipil.
(Baca: Berakhirnya Kasus Samad-BW, Kemenangan Gerakan Masyarakat Sipil Lawan Korupsi)
Willy berpendapat, masih ada peluang untuk memperjuangkan isu-isu kerakyatan di tataran birokrasi, yakni dengan menjalin lagi relasi dengan para aktivis masyarakat sipil yang masuk ke dalam sistem pemerintahan.
"Kami mengusulkan dibentuk joint commision. Di dalamnya duduk wakil masyarakat sipil, orang birokrat, pemerintah, partai politik, dan sebagainya. Komite ini untuk menggodok usul-usul, saran-saran, dan kepentingan yang asalnya benar-benar dari rakyat," ujar Willy.
Seiring dengan itu, Willy juga berpendapat bahwa masyarakat sipil tetap harus bersatu dan memperjuangkan kepentingan bersama.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.