JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berharap Presiden Joko Widodo dapat mempertimbangkan secara bijak hasil dua simposium terkait penyelesaian hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu, baik Simposium Tragedi 1965 maupun Simposium Anti-PKI.
Hal tersebut diungkapkan Ryamizard seusai menyampaikan sambutan dalam acara Simposium Nasional 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain' di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/6/2015).
"Dia (presiden) harus bijak. Dua-duanya dilihat, siapa. Baru dipertimbangkan yang benar dan enggak," kata Ryamizard, Kamis pagi.
Namun, ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa tak perlu ada pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965 maupun kuburan korban-korban peristiwa HAM masa lalu.
Ia juga berpendapat bahwa negara tak perlu meminta maaf terkait perisitiwa tersebut.
"Maafnya pribadi saja. Kalau negara dengan yang kecil, negara kita kan besar," ujar dia.
Ia pun meyakini bahwa PKI tak kan bangkit dan tak boleh bangkit karena ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 107 yang juga mengatur soal pidana penjara bagi pihak-pihak yang dianggap menghidupkan kembali nafas PKI.
"Bisa diancam sampai dengan 20 tahun (penjara). Itu ada di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999," kata Ryamizard.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.