JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Rahmadanil mengatakan proses pembahasan revisi UU Pilkada sangat kental akan kepentingan individu dan partai politik.
Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah seharusnya menjadikan kelemahan dan evaluasi pelaksanaan pilkada 2015 sebagai perbaikan dalam revisi UU Pilkada tersebut.
"Sangat disayangkan proses pembahasan ini memakan satu bulan lebih. Tetapi pendekatan yang dilakukan DPR tidak sesuai dengan harapan publik," kata Fadli, saat ditemui di Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut dia, DPR dan pemerintah seharusnya membuka partipasi publik serta melihat bahan-bahan evaluasi yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat sipil.
(Baca: Revisi UU Pilkada Tertutup, DPR Tidak Membahas Masalah Krusial)
Jika hal tersebut dilakukan, kata Fadli, DPR tidak akan membahas panjang poin yang tidak substantif. Dia mencontohkan poin tidak substantif yang justru menyita waktu DPR itu seperti kewajiban mundur atau tidaknya anggota DPR saat maju sebagai calon kepala daerah hingga syarat jumlah dukungan.
Dua hal itu membuat pembahasan RUU Pilkada alot tetapi ujung-ujungnya tidak ada perubahan.
"Ini kan seharusnya tidak perlu dibahas karena sudah ada keputusan Mahkamah Konsitusi (MK). Tapi ini malah didebatin panjang lebar, panjang lebar," ujar dia.
DPR, di sisi lain, justru tidak membahas calon yang berstatus terpidana bebas bersyarat. Padahal, dalam pelaksanaan pilkada 2015 lalu, masalah itu sempat menjadi polemik.
(Baca: Disepakati, Revisi UU Pilkada akan Disahkan pada 2 Juni)
"Kasus ini kan terjadi di Manado dan kota lainnya, sampai pelaksanaan pilkadanya ditunda. Sampai akhirnya masalah ini hanya ditarik ulur dan pada akhirnya tidak dibahas," kata dia.
Selain itu, kata dia, DPR juga tidak membahas masalah sengketa pencalonan. Dari pelaksanaan pilkada serentak 2015, ada lima daerah yang ditunda penyelenggaraan pilkadanya disebabkan penyelesaian sengketanya berlarut-larut.
"Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslu) kabupaten/kota bukan disiapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa pencalonan. Seharunya revisi UU Pilkada menjawab masalah ini," ujar Fadli.