JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai, Presiden Joko Widodo tidak perlu mengakomodasi PAN atau Partai Golkar ke dalam kabinet kerja.
Jokowi disarankan tetap merangkul parpol yang mendukungnya sejak kampanye pemilu presiden 2014. Ia menilai, parpol yang berkoalisi sejak awal minim kepentingan pragmatis.
"Jokowi lebih baik merangkul partai-partai yang bersama sejak kampanye kemarin. Karena mereka lebih setia dibanding pendatang baru. Jokowi harus rangkul PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura dan PPP," kata Emrus saat dihubungi, Rabu (1/6/2016).
Di samping itu, kata dia, parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat lebih berjasa karena ikut bekerja keras sejak awal saat pemilihan presiden.
Sementara partai pendatang baru belum bekerja apa-apa untuk kebaikan pemerintah.
"Justru parpol yang bergabung belakangan seperti Golkar dan PAN karena memang kepentingan pragmatis dan kekuasaan semata," kata dia.
Emrus juga menyarankan agar Jokowi tak meniru langkah Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola koalisi. Ketika itu, dibuat Sekretariat Gabungan Partai Koalisi Pemerintah.
Sebab, menurut dia, Setgab justru semakin mempersempit kewenangan dan kekuasaan Presiden.
"Ini agar tidak ditekan atau dikontrol oleh partai. Idealnya Jokowi berkoalisi dengan masing-masing partai. Sehingga kekuasaan itu ada di tangan Jokowi. Dan juga agar tidak terjadi seperti masa Pak SBY. Dimana dia ditekan dan diatur partai koalisi," ujar dia.
Wacana reshuffle kabinet jilid II kembali muncul setelah PAN dan Golkar bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah.
PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura tidak ingin jatah kursi menteri mereka dikurangi untuk diberikan kepada Golkar maupun PAN.