JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti hukum dari Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar menilai, posisi hakim tindak pidana korupsi selama ini kurang diperhatikan oleh Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, ia mengaku tak terkejut dengan kasus dua hakim tipikor yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan menerima suap.
"Hakim tipikor memang posisinya saat ini dianaktirikan, tidak diurus oleh MA. Dianggap sebagai anak haram hakim," ujar Erwin, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Ia menyebutkan, hakim adhoc tipikor mengalami perlakuan diskriminasi dari sisi fasilitas, gaji, dan remunerasi.
Fasilitas, gaji dan remunerasi yang diterima oleh hakim adhoc tipikor tidak sama dengan yang diterima oleh hakim pada umumya.
Menurut Erwin, sejumlah hakim adhoc tipikor pernah melakukan protes. Jika tak menerima fasilitas yang sama, mereka tak menjanjikan kinerja yang baik.
"Mereka dipinggirkan oleh MA dari sisi fasilitas, gaji, dan remunerasi. Itulah kondisi hakim tipikor saat ini. Mereka pernah protes dan mengatakan demikian," kata Erwin.
Selain itu, Erwin juga menilai, hakim tipikor dianggap sebagai hakim biasa yang kemudian diangkat sebagai hakim tipikor. Hal ini menyebabkan MA memberikan perlakuan yang berbeda.
"Saya menilai masih ada anggapan seperti itu dari Mahkamah Agung," kata Erwin.
Ia juga menyoroti sistem yang berlaku di Mahkamah Agung dalam memberikan penghargaan kepada para hakim.
"Sebaik apapun dia, jika sistemnya tidak mendukung maka akan tergoda juga. Padahal masyarakat berharap dengan adanya hakim ad hoc tipikor memberikan vitamin baru dalam proses pemberantasan korupsi tapi nyatanya saat ini yang diharapkan berbanding terbalik," kata Erwin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.