JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, menilai, kasus dugaan suap yang melibatkan hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) karena adanya persoalan pada sistem seleksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Ia mengatakan, dari awal proses rekrutmen, MA tidak menemukan calon-calon hakim-hakim terbaik dalam hal pemberantasan korupsi.
Menurut dia, para calon hakim tipikor yang mendaftarkan diri banyak yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan.
"MA sendiri membutuhkan puluhan hakim tipikor dan standarnya jelas. Namun, sayangnya orang-orang yang mendaftar tidak semuanya bisa memenuhi standar yang ditentukan," ujar Liza, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Selain soal integritas, ia menilai, seorang hakim tipikor juga harus memenuhi standar kualitas.
Kualitas itu di antaranya terkait penguasaan hukum acara dan materiil serta pemahaman tentang tindak pidana korupsi.
"Mereka paham, tapi tidak bisa terlalu mendalam. Tidak bisa memenuhi staandar yang ditetapkan. Tipikor kan tindak pidana khusus. Dalam seleksi seringkali sulit untuk mendapatkan hakim dengan kualitas dan keahlian khusus," kata Liza.
Sebelumnya, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka setelah menggelar operasi tangkap tangan di Bengkulu, pada Senin (23/5/2016) lalu.
Dari lima orang tersangka, dua di antaranya adalah hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu.
Hingga saat ini, terdapat tujuh hakim adhoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang harus berurusan dengan KPK karena terkait kasus suap penanganan perkara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.