JAKARTA, KOMPAS.com - Keluarga korban kasus penculikan aktivis pro demokrasi 1997-1998 angkat bicara terkait wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua RI, Soeharto.
Paian Siahaan, bapak dari Ucok Munandar Siahaan, seorang aktivis yang diculik karena menentang Orde Baru, mengatakan bahwa Soeharto tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai pahlawan.
"Soeharto itu pahlawan apa? Pahlawan itu kan tidak menyakiti rakyat, menjaga rakyat. Pahlawan apa dia. Ini sangat kontradiktif," kata Paian saat ditemui di kantor Kontras, Selasa (24/5/2016).
Paian mengatakan, kasus penculikan yang menimpa anaknya terjadi pada saat Soeharto masih berkuasa. Karena itu ia menganggap Soeharto sebagai presiden menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas hilangnya Ucok.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo menolak usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan menghormati hasil penyelidikan Komnas HAM, yang menyebut dugaan keterlibatan Soeharto dalam kasus pelanggaran HAM.
"Penculikan itu adalah perintah dari Soeharto sendiri yang tidak mau kekuasaannya ditentang aktivis. Anak saya sampai sekarang masih hilang," kata Paian.
Selama periode 1997-1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat 23 orang yang diduga telah dihilangkan oleh alat-alat negara.
Dari jumlah itu, 1 orang ditemukan meninggal dunia, yakni Leonardus Gilang. Sementara, 9 orang dilepaskan dan 13 orang masih hilang.
Ketiga belas korban hilang ini adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Peristiwa penculikan aktivis 1997-1998 tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Pada masa itu wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan.
Aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.