Ketetapan yang dibuat setahun setelah tragedi September 1965 itu juga melarang ajaran yang sama.
Hal yang menarik adalah, Tap MPRS sebenarnya memberikan batasan terhadap tindakan aparat. Pasal 3 di ketetapan itu menegaskan bahwa kegiatan akademik di universitas-universitas untuk membahas ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme boleh dilakukan, asalkan di bawah pengawasan.
Berangkat dari hal ini, tindakan aparat yang mengakomodasi desakan dari ormas-ormas tertentu untuk membubarkan diskusi di kampus adalah sebuah kesalahan.
Menurut Tap MPRS yang sering dirujuk oleh pemerintah itu, aparat seharusnya menjaga dan mengawasi, bukan membubarkan.
Kondisi ini diperparah dengan penarikan, atau sebut saja penyitaan, buku yang beraroma “kiri”. Buku-buku itu tidak sedikit ditulis oleh kalangan akademisi.
Hak kekayaan intelektual, sebuah hak yang sangat personal dan sangat dihargai di era demokrasi dan liberalisasi, melekat di buku-buku itu. Dengan demikian, penyitaan buku atas nama negara adalah penyitaan hak personal.
Tindakan ini justru mirip-mirip dengan aksi-aksi rezim sosialisme, nenek moyang komunisme, yang tidak mengakui hak individu.
Hukum internasional dan peran media
Tulisan ini tidak untuk membela komunisme. Bahkan, tulisan ini sama sekali tidak peduli dengan komunisme.
Yang menjadi kepedulian di dalam tulisan ini adalah tindakan aparat yang berpotensi melanggar hak sipil dan politik warga negara. Jadi, uraian di dalam naskah ini bisa digunakan untuk membahas segala bentuk pemberangusan hak warga, apapun ideologinya.
Pemerintah, terutama aparat penegak hukum, sebaiknya hati-hati dalam menindak segala yang bercorak palu-arit dan “beraroma” kiri.
Apalagi ketika mereka memasuki wilayah akademik. Hal itu disebabkan Indonesia bukanlah negara yang berada di ruang hampa. Ia adalah negara yang menjalin hubungan baik dengan banyak negara lain dan banyak organisasi internasional.
Indonesia adalah anggota PBB. Dan di PBB, Indonesia adalah anggota yang baik. Salah satunya terlihat dari kesediaan Indonesia untuk meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan itu resmi berlaku di Indonesia melalui Undang-undang nomor 12 Tahun 2005.
Kovenan itu secara mutlak meminta negara untuk menghargai hak-hak sipil dan politik warga negara. Berdasarkan penjelasan UU nomor 12 Tahun 2005, yang dimaksud dengan hak sipil dan politik di dalam Kovenan ini meliputi, namun tidak terbatas pada:
Pada titik ini, pers dan media seharusnya berperan. Pers dan media memang harus menjunjung tinggi supremasi hukum.
Namun, pada saat yang sama, keduanya harus tetap obyektif dengan terus mengingatkan bahwa rakyat memiliki hak sipil, politik, dan hak dasar lainnya yang tidak bisa dilanggar.
Pembelajaran yang dilakukan media dan pers itu juga (seharusnya) bisa membuat universitas-universitas, toko-toko buku, bahkan Perpustakaan Nasional untuk tidak “latah” dan ikut-ikutan melarang buku “kiri”.
Seharusnya tiga entitas yang disebut terakhir justru menjadi ujung tombak pelestarian kekayaan intelektual.
Di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati. Jangan sampai fobia terhadap ideologi tertentu menjadi bumerang bagi kredibilitas bangsa di mata dunia. Jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.