Palu dan arit sedang menjadi buah bibir. Akhir-akhir ini, membicarakan kedua kata benda tersebut secara bersamaan bisa berujung maut.
Alasannya jelas, aparat penegak hukum melakukan pengawasan ketat, sering kali juga melarang dan menangkap, pengguna gambar “palu-arit” yang identik dengan Partai Komunis Indonesia dan gerakan komunisme secara umum.
Seperti halnya yang sering digunakan untuk menyebut komunisme, “penertiban” terhadap atribut berbau “palu-arit” dan hal yang serba “kiri” adalah kegiatan laten. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “laten” berarti tersembunyi, terpendam, tak kelihatan namun memiliki potensi untuk muncul.
Semua orang tentu paham, gerakan pemberantasan semua yang beraroma “kiri” pasti dilakukan dengan berbagai cara, mulai cara yang blak-blakan hingga yang tertutup khas intelijen. Sepertinya tidak berlebihan juga untuk mengatakan aktivitas mengawasi gerakan “kiri” adalah kegiatan laten.
Betapa tidak? Aktivitas itu muncul di suatu waktu, kemudian seakan sirna, lalu muncul lagi di waktu yang lain. Yang jelas, larangan penggunaan logo “palu-arit” sudah ada sejak Republik ini belum diproklamirkan, sejak zaman kolonial.
Suatu waktu, Ruth T McVey pernah menulis kucing-kucingan antara aparat dan pengguna logo palu-arit dalam bukunya, "Kemunculan Komunisme di Indonesia". Di buku itu, seperti dikutip oleh Majalah Historia, McVey mengatakan gerakan komunisme dan segala atribut yang berkaitan dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Kalaupun ada gerakan, pemerintah akan memastikan tidak ada pegawai negeri yang menjadi peserta di sana.
Alkisah, menjelang salah satu pertemuan partai komunis di penghujung 1920, logo palu-arit dan bulan sabit merebak. Salah seorang anggota partai mendesain logo itu di batik yang digunakan di dalam pertemuan tersebut.
Menurut McVey, desain ini laku keras. Yang menarik adalah sebagian besar pembelinya adalah kelompok komunis dari kalangan Islam. Maklum saja, pertemuan itu berlangsung di markas Sarekat Islam Semarang.
Saat itu, respons pemerintah terhadap penggunaan lambang palu-arit cukup keras. Saking kerasnya, pemerintah ingin memastikan logo itu tidak ada di semua jenis pakaian.
“Bahkan sarung dengan motif palu arit dilarang oleh hukum yang baru,” tulis McVey sebagaimana dikutip di Historia.
Dasar hukum
Negara, atau lebih tepatnya pemerintah, tentara, dan polisi, tentu tidak salah ketika melarang, menangkap, atau bahkan menyita berbagai publikasi dan buku yang diduga “berhaluan” kiri.
Undang-undang itu memang secara jelas melarang segala hal yang berkaitan dengan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Keberadaan produk hukum itu mendapat payung dari Tap Nomor XXV/MPRS/1966.
Ketetapan yang dibuat setahun setelah tragedi September 1965 itu juga melarang ajaran yang sama.
Hal yang menarik adalah, Tap MPRS sebenarnya memberikan batasan terhadap tindakan aparat. Pasal 3 di ketetapan itu menegaskan bahwa kegiatan akademik di universitas-universitas untuk membahas ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme boleh dilakukan, asalkan di bawah pengawasan.
Berangkat dari hal ini, tindakan aparat yang mengakomodasi desakan dari ormas-ormas tertentu untuk membubarkan diskusi di kampus adalah sebuah kesalahan.
Menurut Tap MPRS yang sering dirujuk oleh pemerintah itu, aparat seharusnya menjaga dan mengawasi, bukan membubarkan.
Kondisi ini diperparah dengan penarikan, atau sebut saja penyitaan, buku yang beraroma “kiri”. Buku-buku itu tidak sedikit ditulis oleh kalangan akademisi.
Hak kekayaan intelektual, sebuah hak yang sangat personal dan sangat dihargai di era demokrasi dan liberalisasi, melekat di buku-buku itu. Dengan demikian, penyitaan buku atas nama negara adalah penyitaan hak personal.
Tindakan ini justru mirip-mirip dengan aksi-aksi rezim sosialisme, nenek moyang komunisme, yang tidak mengakui hak individu.
Hukum internasional dan peran media
Tulisan ini tidak untuk membela komunisme. Bahkan, tulisan ini sama sekali tidak peduli dengan komunisme.
Yang menjadi kepedulian di dalam tulisan ini adalah tindakan aparat yang berpotensi melanggar hak sipil dan politik warga negara. Jadi, uraian di dalam naskah ini bisa digunakan untuk membahas segala bentuk pemberangusan hak warga, apapun ideologinya.
Pemerintah, terutama aparat penegak hukum, sebaiknya hati-hati dalam menindak segala yang bercorak palu-arit dan “beraroma” kiri.
Apalagi ketika mereka memasuki wilayah akademik. Hal itu disebabkan Indonesia bukanlah negara yang berada di ruang hampa. Ia adalah negara yang menjalin hubungan baik dengan banyak negara lain dan banyak organisasi internasional.
Kovenan itu secara mutlak meminta negara untuk menghargai hak-hak sipil dan politik warga negara. Berdasarkan penjelasan UU nomor 12 Tahun 2005, yang dimaksud dengan hak sipil dan politik di dalam Kovenan ini meliputi, namun tidak terbatas pada:
Pada titik ini, pers dan media seharusnya berperan. Pers dan media memang harus menjunjung tinggi supremasi hukum.
Namun, pada saat yang sama, keduanya harus tetap obyektif dengan terus mengingatkan bahwa rakyat memiliki hak sipil, politik, dan hak dasar lainnya yang tidak bisa dilanggar.
Pembelajaran yang dilakukan media dan pers itu juga (seharusnya) bisa membuat universitas-universitas, toko-toko buku, bahkan Perpustakaan Nasional untuk tidak “latah” dan ikut-ikutan melarang buku “kiri”.
Seharusnya tiga entitas yang disebut terakhir justru menjadi ujung tombak pelestarian kekayaan intelektual.
Di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati. Jangan sampai fobia terhadap ideologi tertentu menjadi bumerang bagi kredibilitas bangsa di mata dunia. Jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.