"Orang bilang banyak duit. Enggak ada. Siapa yang biayai? Pada 18 Mei itu ya kami, air mineral, satu gelas berdua. Serak-serak kami enggak ada minuman," ucapnya.
Barulah selepas 18 Mei 1998, kata dia, para mahasiswa demonstran tak lagi kelaparan. Bantuan berdatangan dari banyak pihak.
Semua pihak dinilai Adian berlomba ingin berebut peran kesejarahan seusai Soeharto jatuh.
Pada momen tersebut, pangan berlimpah. Para mahasiswa yang biasa menyantap masakan rumahan di Warung Tegal, pasca-jatuhnya Soeharto, dipasok banyak makanan, termasuk makanan cepat saji.
Bahkan, Adian menuturkan, para mahasiswa akhirnya mengenal roti dengan bungkus bertuliskan "bakery" serta roti-roti berisi daging di kala sebelumnya mereka hanya menyantap roti dengan taburan gula.
Kiriman nasi bungkus juga terus berdatangan, sekalipun para mahasiswa tak memintanya. Saking banyaknya gelontoran pangan, mereka pun sampai sakit perut.
"Makanan yang tidak pernah kami makan, di sana banyak. Kami kan spesialisasi warteg," kata dia.
Tak hanya bantuan pangan, bantuan sandang juga banyak dikirim oleh masyarakat.
"Pakaian dari celana dalam sampai piyama dikasih. Enggak ngerti maksudnya," ujarnya sambil tertawa.
Bantuan pangan dan sandang hasil kiriman banyak pihak tersebut akhirnya dibagikan kepada masyarakat oleh para mahasiswa demonstran.
"Setiap sore, kami keliling dengan mobil kampus dan mobil pribadi mahasiswa, bagikan ke mana-mana karena kelebihan," tutur Adian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.